• Beranda
  • Berita
  • Plakat peringatan kudeta 1932 hilang, aktivis pro demokrasi Thailand geram

Plakat peringatan kudeta 1932 hilang, aktivis pro demokrasi Thailand geram

16 April 2017 12:57 WIB
Plakat peringatan kudeta 1932 hilang, aktivis pro demokrasi Thailand geram
Sekitar 1,250 mahasiswa dari Assumption College memegang kartu membentuk gambar wajah almarhum Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand, dalam penghormatannya, di , Jumat (28/10/2016). (REUTERS/Athit Perawongmetha )
Bangkok (ANTARA News) - Sebuah plakat peringatan peristiwa kudeta 1932 di Thailand yang menandakan dihapuskannya sistem monarki absolut yang berganti dengan berdirinya negara demokrasi, telah hilang, kata kepolisian Bangkok pada Sabtu.

Peristiwa itu memicu protes dari para aktivis pro demokrasi.

Kudeta 1932 yang juga dikenal sebagai Revolusi Siam merupakan titik balik penting dalam sejarah Thailand, yang mengakhiri hampir tujuh abad monarki absolut, serta membuka jalan bagi reformasi politik dan sosial di negara itu.

Sejak saat itu, Thailand telah menjalani proses demokrasi dan mengalami banyak aksi protes terhadap proses perubahan sosial dan politik serta kudeta.

Thailand telah diperintah oleh junta sejak kudeta terbaru mereka pada 2014, yang memperlihatkan pihak militer menggulingkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis.

Plakat yang ditanam di sebuah lapangan di pusat kota Bangkok telah hilang dicopot dan diganti dengan plakat baru yang menyoroti pentingnya monarki kerajaan Thailand.

"Sangat baik untuk menyembah trinitas Buddha, negara, keluarga sendiri, dan setia kepada kerajaan, serta menjadikan diri sendiri sebagai mesin yang membawa kemakmuran kepada negara," demikian tulisan pada plakat yang baru.

Kepolisian di Distrik Dusit, tempat plakat tersebut ditempelkan, tidak mengetahui siapa yang mengganti plakat itu dan sedang menyelidiki pelakunya. Kelompok loyalis kerajaan diketahui sempat mengancam akan mencopot plakat lama.

Aktivis pro-demokrasi mengatakan bahwa penggantian plakat adalah usaha dari kelompok loyalis untuk menulis ulang sejarah.

"Ini adalah upaya lain untuk mengubah sejarah demokrasi di negeri ini," kata Than Rittiphan, anggota dari Gerakan Demokrasi Baru yang dipimpin para mahasiswa.

"Hal ini tidak lebih dari retorika fasis yang bertujuan untuk mencuci otak generasi berikutnya," tambahnya.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa sensitivitas atas aktivitas yang dianggap sebagai anti-monarki telah berkembang sejak Raja Maha Vajiralongkorn naik tahta menggantikan ayahnya, Raja Bhumibol Adulyadej, yang tewas tahun lalu.

Pekan lalu Raja Vajiralongkorn menandatangani undang-undang dasar baru yang didukung militer, satu langkah penting menuju pemilu yang menurut junta berkuasa akan memulihkan demokrasi.

Undang-undang dasar baru itu adalah yang ke-20 bagi negara Asia Tenggara tersebut sejak monarki absolut berakhir pada tahun 1932, dan para pengecam mengatakan undang-undang itu masih akan memberi para jenderal suara yang kuat atas politik Thailand.


Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017