Kartini modern di balik Go-Life; Dayu Dara

20 April 2017 12:00 WIB
Kartini modern di balik Go-Life; Dayu Dara
Salah satu pendiri layanan Go-Life dari Go-Jek, Dayu Dara Permata (ANTARA News/Natisha)

Menurut saya, itu label yang membuat perempuan jadi alergi ke situ. Karena enggan, jadi, nanti nggak ada penerus

Jakarta (ANTARA News) - Tak banyak yang tahu di balik Go-Life dari Go-Jek, Dayu Dara Permata sejak 2015 lalu turut membantu Nadiem Makarim membidani layanan yang fokus ke gaya hidup masyarakat urban.

“Saya nggak pernah terpikir gabung ke startup,” kata Dara, begitu dia biasa dipanggil, saat ANTARA News menemuinya di sela-sela kegiatannya sebagai salah satu pendiri Go-Life di kantornya.

Dara paham betul bahwa dunia yang digelutinya, startup dan berkaitan dengan teknologi, internet bahkan transportasi, identik dengan pekerjaan kaum Adam. Ia pun masih mendengar dunianya lebih cocok digeluti laki-laki karena ada anggapan dunia teknologi butuh seseorang yang fokus dan mengedepankan rasionalitas.

“Menurut saya, itu label yang membuat perempuan jadi alergi ke situ. Karena enggan, jadi, nanti nggak ada penerus “ kata dia.

Lulusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengaku bukan seorang yang “digital savvy”, alias jago teknologi, ketika ia memutuskan menerima tawaran Nadiem untuk bergabung ke Go-Jek.

Saya harus belajar lebih keras, bertanya ke orang yang tepat, kata Dara.

Saat bertemu Nadiem, Dara masih bergabung dengan perusahaan konsultan McKinsey dan mengenal pendiri Go-Jek itu sebagai sesama orang yang pernah bekerja di perusahaan tersebut.

Ia tergerak mendengar tawaran bergabung selain karena sesuai dengan minatnya, memecahkan masalah, juga kesempatan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.

“Waktu itu dia bilang, ‘Kasihan nggak, sih, Indonesia, kalau orang kayak kita cari kerja? Kita beruntung dikasih kesempatan kuliah. Kenapa nggak, orang kayak kita ini membuka lapangan pekerjaan?,” kata Dara mengenang pertemuannya dengan Nadiem beberapa tahun lalu.

Sepulang pertemuan itu, ia pun mencoba layanan ojek motor itu, sambil mengobrol ringan dengan pengemudi, yang kebetulan mantan tukang ojek pangkalan.

Ia merasa tertantang untuk mengembangkan layanan berbasis transportasi itu setelah mendengar cerita lugu dari sang pengemudi, yang menceritakan ia kini mengenal ponsel pintar selain mendapat tambahan penghasilan.

“Dia juga bilang, ‘dulu, saya nggak ngerti ada orang punya uang plastik, sekarang saya ngerti, punya juga’,” kata dia, menirukan cerita si pengemudi yang baru mengenal kartu ATM.

Tidak sulit bagi Dara untuk hengkang dari pekerjaannya sebagai konsultan, bidang yang sangat disukainya, karena di tempat yang baru, ia merasa kegemarannya memecahkan masalah tidak pernah hilang, tapi justru bertambah.

“Jadi tambah bisa build a new thing. Memecahkan masalah dengan membuat sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya,” kata dia.

Bersama temannya Windy Natriavi, ia pun turun lansgung ke lapangan untuk menawarkan bergabung dengan layanan awal mereka di Go-Life, yatu Go-Glam (kecantikan), Go-Clean (bersih-bersih) dan Go-Massage (pijat).

Merekrut pekerja perempuan
Dara banyak bersentuhan dengan pekerja dari sektor informal untuk mengembangkan layanan ini. Ketika ke mal, hotel atau gedung perkantoran, ia menyempatkan diri mengobrol dengan tukang bersih-bersih.

Begitu juga saat ke salon, ia mencari tahu apa yang diminati para pemberi jasa kecantikan dan pijat.

Awalnya, ia menilai peluang mendapatkan penghasilan tambahan akan menarik bagi para pekerja sektor informal itu, nyatanya, hanya berhasil untuk laki-laki.

“Tapi, perempuan nggak tertarik dengan insentif finansial. Tapi, ketika saya bilang ‘ibu bisa kerja dari rumah jam kerja, terserah’, itu yang menggerakkan mereka,” kata perempuan kelahiran 1989 ini.

Fleksibilitas jam kerja dan kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan keluarga dinilainya menjadi hal yang paling diutamakan oleh perempuan yang bekerja, terutama yang sudah berkeluarga.

Para perempuan itu, ingin berkontribusi terhadap perekonomian keluarganya tanpa harus mengabaikan kewajiban lainnya.

Pencapaian
Bidang yang digelutinya ini bisa dibilang mengubah cara masyarakat, terutama yang di kota besar, menikmati layanan berbasis transportasi.

Dara mengaku dirinya masih jauh dari kata puas dengan capaian tersebut.

Tahun pertama, ia berusaha membangun tim yang solid. Tahun berikutnya, menyebarkan layanan ke kota-kota besar di Indonesia.

Saat ini, Go-Jek ada di 25 kota di Indonesia sementara Go-Life sudah tersedia untuk 13 kota. Go-Life, yang saat enam bulan berdiri memiliki 30 karyawan, kini berkembang menjadi 130 orang dan mitra yang terdaftar berada di angka 30 ribuan.

“Saya jauh dari kata puas… Layanan ini, bukan yang dibutuhkan setiap hari. Aspirasi saya, menjangkau kota lain supaya seperti di Jakarta,” kata dia.

Oleh N012
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2017