"Pilihan utama dalam berinvestasi di-real estate industrial adalah Indonesia dan Vietnam," kata Head of Capital Markets Research JLL Southeast Asia, Regina Lim, dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, negara-negara di Asia Tenggara menarik hati banyak perusahaan global dibandingkan China antara lain karena pertimbangan beban biaya yang lebih rendah.
Selain itu, lanjut Regina, alasan lainnya adalah tingkat konsumsi domestik yang terus tumbuh, serta kinerja infrastruktur yang terus membaik, sehingga bakal ada tren investasi properti industri di ASEAN.
"Sektor manufaktur Indonesia diperkirakan tumbuh 6-7 persen per tahun hingga 2021, naik dari 5 persen pada 2016, akibat mata uang yang stabil dan perubahan di dalam kebijakan perekonomiannya," jelasnya.
Sementara keunggulan Vietnam, ujar dia, adalah tenaga kerja yang muda dan ahli, relatif berbeban biaya rendah, dan iklim politik stabil.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menawarkan kerja sama investasi di bidang industri manufaktur kepada sejumlah pengusaha asal Afghanistan saat Dialog Bisnis Indonesia-Afghanistan.
"Sektor industri manufaktur dan jasa menjadi kunci dalam pertumbuhan Indonesia yang berkontribusi lebih dari 30 persen dari total GDP pada 2016," kata Airlangga.
Menurut Menperin, kerja sama industri manufaktur non-migas yang berpotensi ditingkatkan antara lain makanan-minuman, bahan kimia dan farmasi.
Indonesia, jelas Airlangga Hartarto, termasuk salah satu dari sepuluh negara industri manufaktur terbaik di dunia.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017