"Di Bogor, satu dari lima remaja mengalami anemia. Anemia dapat menurunkan 20 persen kemampuan kerja dan kemampuan kognitif. Dan, bersifat permanen," kata Dodik dalam kegiatan praorasi guru besar IPB di Kampus Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Ia menjelaskan, anemia merupakan masalah gizi mikro yang dialami hampir semua negara. Jumlah penderitanya diperkirakan mencapai dua miliar orang atau sepertiga dari populasi dunia. Penderita anemia paling banyak berasal dari Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika.
Secara umum, lanjutnya, 50 persen kejadian anemia karena kurangnya asupan zat besi sehingga sering disebut Anemia Gizi Besi atau AGB. Anemia sudah dikenal sejak pertengahan abad ke-16 di Eropa dengan nama chlorosis.
"Cara pengobatannya sudah diketahu saat ini dengan garam besi. Dalam satu hari kebutuhan manusia akan zat besi hanya 60 miligram per hari, dan bisa tercukupi dengan mengonsumsi daging, telur, dan ayam," kata pakar gizi IPB ini.
Ia menyebutkan akan ada fenomena loss generation (kehilangan generasi) dan bisa mengakibatkan kematian karena menurunnya imunitas akibat anemia.
AGB, lanjutnya, terjadi karena rendahnya kualitas konsumsi pangan. Sebagian besar penduduk Indonesia mengonsumsi beras 97,7 persen, sayuran 79,1 persen.
Pola diet yang dilakukan tersebut meningkatkan risiko anemia gizi besi, anemia karena infeksi dan penyebab lainnya seperti infeksi cacing dan malaria serta inflamasi karena TB dan HIV/AIDS.
Hasil penelitian mahasiswa Program Magister IPB tahun 2016 mengungkapkan bahwa estimasi kerugian ekonomi bangsa Indonesia terhadap kasus anemia mencapai Rp62 triliun atau setara dengan 0,711 persen PDB.
"Kerugian ekonomi pada anak balita dan sekolah sebesar Rp1,3 juta, remaja Rp830 juta, wanita dewasa Rp1,9 juta, dan laki-laki dewasa Rp2,8 juta per kapita per tahun," katanya.
Dodik menambahkan, pemerintah telah melakukan beberapa program untuk menangani AGB, yakni melalui fortifikasi pangan, suplementasi zat besi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) gizi, dan peningkatan kualitas konsumsi pangan.
"Bank Dunia tahun 2016 menyatakan bahwa dengan investasi satu dolar AS untuk perbaikan anemia pada kelompok wanita usia subur akan mengembalikan uang sebesar 12 dolar AS. Artinya investasi di bidang gizi khususnya anemia sangat menguntungkan," kata Dodik.
(T.KR-LR/S024)
Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017