• Beranda
  • Berita
  • Pemerintah diminta tak perpanjang moratorium pembukaan lahan

Pemerintah diminta tak perpanjang moratorium pembukaan lahan

8 Mei 2017 19:17 WIB
Pemerintah diminta tak perpanjang moratorium pembukaan lahan
Firman Subagyo (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta tidak memperpanjang moratorium pembukaan hutan dan lahan gambut yang akan berakhir pada 13 Mei 2017 karena regulasi yang tertuang dalam Inpres No. 8/2015 tersebut dinilai menghambat investasi.

"Tidak usah diperpanjang karena (regulasi) tersebut menghambat investasi. AS saja mati-matian menarik investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Masa kita malah hambat investasi," kata Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo di Jakarta, Senin.

Menurut dia, investasi merupakan bagian penting bagi perekonomian dan penerimaan negara. Oleh karena itu, pemerintah harus menjaga dan melindungi investasi yang sedang berlangsung di Indonesia.

Politisi Partai Golkar itu menyatakan, regulasi harus melindungi kepentingan nasional, sehingga pemerintah, jangan terjebak pada kepentingan asing.

Moratorium tersebut, tambahnya, dilakukan pemerintah karena adanya desakan asing melalui LSM-LSM untuk mematikan perekonomian Indonesia. Indonesia harus berdaulat dalam mengatur sumber daya alam yang dimiliki untuk kemakmuran bangsa, karena hal itu jelas diatur dalam UUD 1945.

"Adanya moratorium ini merusak perekonomian nasional. Kalau sektor perkebunan dihancurkan, maka kita akan tergantung pada produk perkebunan asing. Moratorium itu skenario asing untuk menghancurkan industri kehutanan dan perkebunan kita. Ironisnya kita mau mengikuti skenario itu," tegas Firman.

Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB Dodik Ridho Nurrochmat mengatakan pemerintah harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait pelaksanaan moratorium yang sudah diperpanjang tiga kali ini. "Harus dilihat sejauh mana manfaat maupun mudharatnya," katanya.

Menurut dia, selama dilakukan moratorium tersebut justru banyak menimbulkan pembalakan sebagai akibat terjadinya lahan yang statusnya menjadi 'open acces", karena pemilik izin tidak bisa mengelola lahan tersebut. Sementara pemerintah tidak memiliki petugas yang cukup untuk mengawasi lahan yang dimoratorium tersebut.

Dodik menyatakan, hal itu menjadi persoalan tersendiri bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dalam melakukan moratorium.

Oleh karena itu, menurut dia, lebih baik pemerintah tidak melakukan moratorium terhadap lahan-lahan yang sudah diberikan izinnya baik kepada pengusaha maupun kepada masyarakat, sebab dengan demikian penanggungjawab terhadap lahan tersebut jelas.

Pemerintah, kata Dodik, harus memberikan kepastian hukum untuk keberlangsungan investasi yang telah dilakukan oleh pengusaha. "Kalau seandainya lahan tersebut tidak dikelola dengan baik, kan pemerintah
bisa mencabut izinnya," katanya.

Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB) Supiandi Sabiham menegaskan, moratorium gambut untuk usaha perkebunan sebaiknya tidak dilanjutkan karena lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Bahkan hingga kini perkebunan sawit yang berada di lahan gambut ternyata produktivitasnya tetap baik.

Berdasarkan perhitungan, biaya pemanfaatan lahan gambut untuk kelapa sawit hanya Rp5.656.531 per hektare, sementara keuntungan yang diperoleh mencapai Rp15.076.938 per hektare. Selain itu, kelapa sawit mampu mampu menyerap CO2 yang berasal dari emisi karbon untuk pembentukan biomass tanaman.

"Sementara dari sisi produksi tandan buah segar (TBS) sawit yang dicapai berkisar antara 18-20 ton hektare per tahun untuk tanaman berumur 10-15 tahun," tambahnya.

Luas lahan gambut yang sesuai dengan persyaratan teknis untuk sektor pertanian sekitar 9 juta hektare dari luas lahan gambut keseluruhan sekitar 15 juta hektare. "Sementara yang sudah dibuka dan dikembangkan baru sekitar 0,5 juta hektare untuk pertanian tanaman pangan dan 1,2 juta hektare untuk perkebunan kelapa sawit," ujarnya.

Pewarta: Subaqyo
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017