• Beranda
  • Berita
  • Juragan muda di balik bisnis manis Vanilla Hijab

Juragan muda di balik bisnis manis Vanilla Hijab

21 Mei 2017 09:59 WIB
Juragan muda di balik bisnis manis Vanilla Hijab
Kakak beradik di balik Vanilla Hijab. CEO Vanilla Hijab Intan Fauzia Kusuma (kiri) dan founder Atina Maulina di Jakarta, Sabtu (20/5/2017). (ANTARA News/ Nanien Yuniar )
Jakarta (ANTARA News) - Usianya belum mencapai seperempat abad, tapi Atina Maulina sudah sukses mengembangkan bisnis hijab online Vanilla Hijab yang ditekuninya sejak kuliah hingga berhasil menjual belasan ribu potong per bulan.

Atina (24) semula tidak berminat jadi pebisnis, dia justru bercita-cita jadi insinyur perminyakan. Impiannya seakan sudah bisa diraih setelah menjadi mahasiswa Teknik Perminyakan di Institut Teknologi Bandung. Namun saat itu dia terkena penyakit yang membuatnya hingga tidak bisa berjalan.

“Saya sakit rheumatoid arthritis, rematik, kira-kira setahun,” kata Atina di Jakarta, Sabtu.

Gara-gara penyakit itu, gadis berperawakan kecil ini terpaksa kembali ke Jakarta untuk tinggal bersama orangtuanya. 

Kuliah yang sudah dijalani selama dua tahun dilepaskan begitu saja. Sebagai gantinya, dia menuntut ilmu di PPM Manajemen, sekolah yang sama dengan Intan Fauzia Kusuma, kakaknya yang belakangan jadi CEO Vanilla Hijab. Sayangnya dia merasa tidak kerasan kuliah di Jakarta.

“Saya cari pelarian,” ujar pengagum Hellen Keller itu.

Meski mengulang kuliah dari awal, Atina sudah bertekad untuk lulus bersamaan dengan teman-temannya di ITB. Dia mengambil porsi kuliah dua kali lebih banyak agar bisa wisuda dalam waktu 2,5 tahun. 

“Satu semester saya ambil 32 SKS karena tidak mau ketinggalan dengan teman-teman (di Bandung),” katanya.

Dia bertekad untuk menghasilkan uang sendiri agar tidak merepotkan orangtua, apalagi saat itu pengobatannya juga memakan biaya. Setelah berpikir panjang, Atina memutuskan untuk berjualan lewat dunia maya. Hijab dipilih karena relatif lebih mudah ketimbang berjualan baju di mana dia harus menyediakan berbagai pilihan ukuran.

“Kalau hijab ya satu ukuran saja, jadi gampang,” katanya.

Modal nekat

Atina yang sama sekali tidak punya latar belakang mode merintis bisnis dengan modal nekat. Mulanya dia hanya menjadi pembeli kerudung dari pasar, kemudian menjualnya kembali.

Namun Atina tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun karena dia menerapkan sistem pre-order. Pesanan yang masuk mulai bertambah, dari satu dua potong hingga puluhan potong. Awalnya Atina bolak-balik ke pasar karena hanya membeli kerudung sesuai jumlah pesanan, dia belum berani membeli dalam kuantitas besar untuk persediaan karena khawatir tidak laku.



Saking tidak punya pengalaman, Atina pernah kebingungan mencari tahu daftar biaya ongkos kirim dari Jakarta ke kota lain.

“Saya sampai pura-pura jadi pembeli di toko online lain, terus nanya berapa biaya ongkos kirim ke kota ini dan itu. Dari situ saya tahu biayanya,” kenang Atina.

Tak puas hanya jadi reseller, dia ingin memproduksi sendiri kerudung Vanilla Hijab.

Pada tahun kedua, Vanilla Hijab merintis rumah produksi sendiri. Mencari penjahit bukan perkara mudah. Tanpa koneksi, Atina mendatangi satu demi satu penjahit yang mau direkrut untuk membuat kerudung khas Vanilla Hijab. 

Diawali dari mengajak penjahit yang berkeliling menawarkan jasa lewat sepeda, kini dia sudah memiliki 50 penjahit.

“Kami beri modal, sewakan tempat, beli mesin potong, beli mesin jahit,” jelas anak kelima dari lima bersaudara.

Usahanya semakin berkembang, kakaknya Intan Fauzia Kusuma tidak tega bila hanya berdiam diri melihat si bungsu sibuk mengurusi pesanan yang terus berdatangan. Mereka berbagi peran. 

Intan menjadi CEO Vanilla Hijab yang bertugas mewujudkan konsep-konsep yang dibuat oleh Atina.

Atina bersyukur bisa membaca peluang pada masa itu di mana toko online yang menjual hijab belum menjamur. Vanilla Hijab jadi salah satu pelopor toko online yang menjual hijab praktis instan. Popularitasnya menanjak cepat. Bahkan ada konsumen dari negeri jiran, seperti Singapura, Malaysia dan Brunei. 

Tak ada  bisnis yang selalu mulus. Atina dan Intan juga pernah punya pengalaman pahit karena mendapat kain dengan kualitas di bawah standar.

“Kali beli kain 1.000 meter untuk baju, ternyata 500 meter warnanya luntur, padahal sudah berbentuk baju!”

Alhasil baju-baju yang tak layak jual itu mereka cuci bersih selama berhari-hari, kemudian disumbangkan pada yang membutuhkan.

Ide-ide dari Atina juga tak semuanya disukai konsumen. Di saat satu produk laris manis, ada juga produk yang penjualannya tak memuaskan. 

Satu lagi hal yang sempat membuat Atina pusing tujuh keliling: plagiat. Dia kerap menemukan foto-foto Vanilla Hijab dicomot tanpa izin dan diunggah di e-commerce lain, bahkan ketika foto itu sudah punya watermark. 

Kata Atina, merek besar seperti Zara atau Mango pasti mengalami hal yang sama tapi pasti tak ambil pusing. Sedih yang sempat terasa segera dibuang jauh-jauh. 

“Soalnya saya juga ingin jadi sebesar Zara atau Mango,” imbuh dia.

Jangan sampai hal buruk menghalangi kreativitas dan keuletan dalam berbisnis.

“Tapi count your blessings, not problems.” 

Semanis vanilla

Apa filosofi di balik pemilihan nama Vanilla Hijab?

“Vanila kan manis, kami ingin produk Vanilla Hijab bisa membawa efek positif untuk para perempuan. Memberi kenyamanan dan mood yang lebih bagus,” papar dia.

Saat ini, akun Instagram Vanilla Hijab sudah memiliki 713.000 pengikut. Mereka juga menambah variasi produk, termasuk di antaranya busana hingga tas.

Sekitar belasan ribu hijab dan lima ribu baju ludes terjual setiap bulan. 

Produknya sebagian besar digandrungi perempuan usia produktif, khususnya ibu muda yang bekerja. 

Itulah mengapa mereka mencari bahan yang nyaman, model sederhana tapi tetap modis untuk dipakai ke kantor, serta memudahkan untuk dipakai ibu menyusui.

Warna pastel menjadi ciri khas dari kerudung dan busana keluaran Vanilla Hijab, warna yang juga digemari Atina. Belakangan, mereka juga menambah koleksi warna dasar seperti biru donker, hitam dan abu-abu. 

Agar konsumen tidak bosan, kini Vanilla Hijab juga mulai menciptakan kerudung bercorak yang dijual dalam jumlah terbatas. Mereka bekerjasama dengan tiga seniman Tanah Air yang membuat desain motif kerudung dari cat air. Hasilnya, kerudung warna-warni namun tetap terkesan lembut dan feminin.

Perubahan lain yang diterapkan adalah menambah stok barang sehingga konsumen bisa membeli kapan pun ia mau. Hingga beberapa waktu lalu, Vanilla Hijab memberlakukan sistem flash sale. Barang hanya bisa dibeli pada hari tertentu karena kuantitas terbatas. 

Prinsip “siapa cepat dia dapat” berlaku di sini. Ada kalanya produk yang mereka jual langsung ludes hanya dalam beberapa jam sejak diluncurkan di situs resminya.

“Kami sekarang mengusahakan ready stock, kecuali untuk produksi tertentu yang limited edition,” katanya.

Keputusan ini juga seiring dengan visi mereka yang ingin produknya bisa dipakai semakin banyak orang. 

Atina menambahkan, ke depannya ia ingin melebarkan sayap dengan memproduksi baju olahraga bernuansa feminin untuk pemakai kerudung, juga baju renang yang nyaman untuk muslimah.

 Tak lupa, sebagian keuntungan pun disalurkan untuk membantu sesama melalui kegiatan CSR. Termasuk diantaranya gerakan #VanillaMenggapaiMimpi dengan memberi donasi untuk anak-anak di Labuan Bajo.

“Esensi bisnis itu membantu orang mewujudkan mimpinya. Ketika kita membantu orang, kita juga akan dibantu oleh orang lain.”

Oleh Nanien Yuniar
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017