Hadir dalam acara yang dibuka Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan, A Agus Sriyono, Duta Besar Indonesia untuk Italia, Esti Andayani, anggota korps diplomatik, media massa setempat, serta perwakilan organisasi kemasyarakatan di Italia lainnya.
Pejabat Fungsi Penerangan dan Sosial Kedutaan Besar Indonesia di Vatikan, Wanry Wabang, Kamis mengatakan, bertindak sebagai pembicara Direktur Wahid Institute, Yenny Wahid, Sekjen Muhammadiyah, Dr Abdul Mukti, dan aktivis asal Maluku yang tengah melanjutkan studinya di Roma, Johana Irma Betaubun.
Dalam sambutannya, Sriyono menyampaikan tujuan seminar sebagai forum bertukar pandangan dan memperluas perspektif pengalaman Indonesia berkontribusi kepada pengelolaan keberagaman agama dalam konteks internasional.
Apalagi dalam keadaan dunia masa kini di mana intoleransi dan tensi hubungan antaragama kian meningkat.
Sementara itu Ketua Dewan Kepausan untuk Dialog Antaragama Vatikan, Kardinal Jean-Louis Tauran, mengatakan berdasarkan pengalamannya berkunjung ke Indonesia awal 2000-an, Indonesia merupakan negara yang cinta damai meskipun masyarakatnya datang dari latar belakang yang berbeda.
Selain itu, Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar dan inspirasi negara untuk hidup dalam damai dan harmoni.
Sejalan dengan Kardinal Tauran, Presiden Komunitas Sant Egidio, Prof Marco Impagliazzo, menambahkan, melihat perkembangan dunia saat ini, sepertinya sudah semakin sulit untuk mencari solusi mengatasi ketegangan yang muncul akibat perbedaan agama.
Namun demikian, agama justru dapat memainkan peran yang sangat penting untuk meredam tensi yang kerap muncul.
Dikatakannya Indonesia negara yang cukup dikenal terutama terkait dengan kebebasan beragama karena dijamin peraturan pemerintah. Untuk itu, dasar negara Pancasila harus dipertahankan.
Dalam sesi diskusi Yenny Wahid menyebutkan dalam mengelola keberagaman agama, Indonesia memiliki tantangan sekaligus solusi untuk meredam konflik antar agama, yakni Pancasila sebagai dasar negara yang menyatukan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan TLC (tolerance, leadership, constitution).
Turut menambahkan pengalaman Indonesia setelah era reformasi, Mukti berpendapat terdapat lima hal yang dapat memainkan peran vital dalam keberagaman agama, yakni penerimaan, saling menghargai, kebebasan menjalankan ritual agama, keadilan yang dijamin oleh pemerintah, dan membangun pemahaman antar agama melalui dialog.
Pewarta: Zeinita Gibbons
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2017