"Mengadili, menyatakan terdakwa Siti Fadilah Supari terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan pertama alternatif keempat dan dakwaan kedua alternatif ketiga. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama empat tahun penjara ditambah denda Rp200 juta dengan ketentuan bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama dua bulan," kata ketua majelis hakim Ibnu Basuki Wibowo di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Siti Fadilah divonis enam tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp1,9 miliar subsider satu tahun kurungan.
Siti Fadilah terbukti melakukan korupsi berdasarkan pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan pasal 11 jo pasal 18 UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Menjatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp1,9 miliar dikurangi Rp1,35 miliar dengan ketentuan bila tidak dibayar sesuai jumlah tersebut dalam 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terdakwa akan dilelang dan bila terdakwa tidak punya harta yang mencukupi untuk membayar uang itu maka akan dipenjara selama 6 bulan," tambah hakim Ibnu.
Putusan yang diambil oleh majelis hakim Ibnu Basuki Wibowo, Yohanes Priyana, Diah Siti Basariah Sigit Herman Binaji dan Sofialdi tersebut menilai bahwa Siti Fadilah tidak mengakui terus terang, tidak mendukung program pemerintah yang sedang giat-giatnya memberantas korupsi.
"Hal yang meringankan terdakwa bersikap sopan, belum pernah dihukum, sudah lanjut usia, berjasa dalam mengatasi penanggulangan wabah flu burung dan telah menitipkan uang Rp1,35 miliar ke KPK," kata hakim Yohanes.
Dalam dakwaan pertama Siti Fadilah Supari dinilai terbukti merugikan keuangan negara senilai Rp5,783 miliar dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan (alkes) guna mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) 2005 pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) dengan melakukan penunjukan langsung (PL) kepada PT Indofarma Tbk. Jumlah kerugian negara itu berbeda dengan tuntutan JPU KPK yang menilai negara dirugikan sejumlah Rp6,1 miliar.
Ia meminta Kepala PPMK Mulya A Hasjmy selaku kuasa pengguna anggaran dan pejabat pembuat komitmen melakukan penunjukan langsung kepada PT Indofarma sehingga mendapatkan bayaran Rp13,9 miliar.
PT Indofarma Global Medika ditunjuk Siti sebagai rekanan untuk melaksanakan pengadaan "buffer stock" tersebut karena direktur perusahaan itu Ary Gunawan datang bersama dengan Ketua Sutrisno Bachir Foundation (SBF) Nuki Syahrun yang juga adik ipar Sutrisno Bachir.
Nuki Syahrun kemudian menghubungi Direktur Utama PT Mitra Medidua Andi Krisnamurti yang merupakan suami Nuki, Rizaganti Syahrun, untuk menjadi suplier alkes PT Indofarma. Nuki bersama Ary dan Asrul lalu menemui Mulya A Hasjmy untuk menyampaikan bahwa pengadaan alkes buffer stock dilakukan PT Indofarma.
"Terdakwa mengarahkan agar penyedia barang dipegang PT Indofarma, dengan ditunjukkan PT Indofarma sebagai perusahaan yang melakukan pengadaan alkes buffer stock yang barangnya disuplai PT Mitra Medidua telah terbukti menguntungkan PT Indofarma sebesar Rp364 juta dan secara langsung atau pun tidak langsung PT Mitra Medidua sebesar Rp5,783 miliar," kata anggota majelis hakim Sigit Hendra Binaji.
Sehingga ada beberapa pihak diuntungkan dari proyek pengadaan di tersebut dan unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terpenuhi. Namun berbeda dengan JPU yang menilai bahwa keuntungan PT Indofarma juga merupakan kerugian negara, hakim menilai bahwa keuntungan PT Indofarma bukanlah kerugian negara.
"PT Indofarma menerima pembayaran Rp13,9 miliar setelah dikurangi pajak dari jumlah tersebut dibayar ke PT Medidua sehingga mendapat selisih Rp364 juta dan PT Mitra Medidua mendapat Rp5,783 miliar. Selisih PT Indofarma sebesar Rp364 juta bukan kerugian negara karena PT Indofarma adalah BUMN yang sumber keuangannya berasal dari negara sehingga selisih uang yang diterima PT Indofarma adalah uang negara yang ditempatkan di PT Indofarma karena keuangan negara termasuk yang ditempatkan di BUMN sesuai dengan UU Tipikor," tambah hakim Diah.
Artinya hanya selisih penerimaan PT Mitra Medidua yang diterima dari PT Indofarma yaitu Rp13,58 miliar dikurangi pembayaran kepada PT Bhineka Usada Raya sebesar Rp7,7 miliar yang dinilai hakim sebagai unsur kerugian negara yaitu sejumlah Rp5,783 miliar.
"Terdakwa sebagai menteri kesehatan menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan yang ada padanya sebagai Menkes maupun pengguna anggaran dengan mengarahkan kegiatan pengadaan alkes dengan menerbitkan surat penunjukan langsung," tambah hakim.
Dalam dakwaan kedua, Siti Fadilah dinilai menerima suap sebesar Rp1,9 miliar karena telah menyetujui revisi anggaran untuk kegiatan pengadaan alat kesehatan (alkes) I serta memperbolehkan PT Graha Ismaya sebagai penyalur pengadaan Alkes I tersebut.
Suap itu berupa Mandiri Traveller Cheque (MTC) sejumlah 20 lembar senilai total Rp500 juta dari Sri Rahayu Wahyuningsih selaku manajer Institusi PT Indofarma Tbk dan dari Rustam Syarifudin Pakaya selaku Kepala Pusat Penanggulangan Krisis atau PPK Depkes yang diperoleh dari Dirut PT Graha Ismaya Masrizal sejumlah Rp1,4 miliar juga berupa MTC. Sehingga totalnya adalah Rp1,9 miliar.
Siti lalu memberikannya kepada adiknya Rosdiyah Endang Pudjiastuti untuk diinvestasikan di PT Sammara Mutiara Indonesia yang diwakilkan Jefri Nedi dan selanjutnya ditransfer ke rekening PT Manunggal Muara Palma, PT Tebo Indah (milik Jefri Nedi), ditransfer ke PT City Pacific Securities dalam rangka transaksi jual beli saham di BEJ, ditranfer ke rekening Jefri di Bank Permata sedangkan selebihnya biaya operasional PT Sammara Mutiara Indonesia.
"Terdakwa dianggap punya kewenangan menentukan anggaran dan menentukan siapa-siapa saja yang dapat mengerjakan pengadaan di Kemenkes, termasuk PT Graha Ismaya yang sebelumnya sudah di-black list dalam pengadaan, sehingga dakwaan kedua alternatif ketiga terbukti," ungkap hakim Sigit.
Atas putusan itu, Siti Fadilah maupun jaksa penuntut umum KPK menyatakan pikir-pikir.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017