Gedung dan "tobong" tempat mereka pentas ditutup dengan alasan agar tidak mengganggu kekhusyukan orang Islam menjalani ibadah puasa.
"Ramadan adalah bulan sepi order alias tidak peye (tidak payu) atau tidak laku untuk jual jasa. Padahal, seniman perlu uang untuk Lebaran, seperti Muslim pada umumnya," kata seorang seniman panggung yang dibenarkan oleh Dr. Purwadi, M.Hum., budayawan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan pegiat seni tradisional asal Nganjuk, Jawa Timur.
Dalam bulan puasa, jarang atau bahkan tidak ada orang yang mengadakan hajatan dengan hiburan pentas pertunjukan kesenian tradisional, seperti wayang kulit, wayang orang, ludruk, dan ketoprak.
Seniman tradisional kelas bawah hidupnya tergantung pada bayaran setelah pentas di panggung, yang tidak menentu, baik frekuensi maupun jumlah imbal jasanya.
Oleh karena itu, banyak seniman tradisional termasuk kategori kaum duafa yang perlu diberdayakan secara ekonomi.
Sekalipun duafa (miskin), mereka memiliki daya ungkit karena dapat berperan sebagai pembangkit kebahagiaan dengan menyampaikan pesan-pesan budaya yang bersifat etis dan dikemas secara estetis (indah) sehingga dapat menghibur dan mencerahkan.
Pada bulan Ramadan yang diyakini sebagai penuh berkah, kegiatan ibadah, termasuk dakwah, dan beramal saleh meningkat.
Bersamaan dengan itu, biaya untuk kebutuhan hidup juga meningkat pada bulan yang berujung pada Lebaran, Idulfitri.
Bagi seniman yang menggantungkan hidupnya pada panggung pertunjukan, bulan puasa memang bisa berarti tidak ada "job" yang berakibat tidak menerima penghasilan.
Mengetahui hal itu, Dompet Dhuafa (DD) sebagai lembaga filantropi Islam yang berkhidmat untuk pemberdayaan kaum miskin dengan pendekatan budaya tergerak untuk melakukan prakarsa mulai Ramadan 1438 Hijriah (2017) dengan meluncurkan program Gebyar Budaya Ramadan, melibatkan seniman tradisional untuk naik pentas dengan imbal jasa yang pantas.
Dakwah dengan pendekatan budaya ini mengikuti jejak Sunan Kalijaga, seorang wali penyebar Islam di Pulau Jawa abad ke-15, yang berdakwah melalui akulturasi Islam dan budaya lokal (Jawa).
Nilai-nilai Islam dan budaya Jawa melebur menjadi satu untuk satu tujuan: beribadah, menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, sumber segala sesuatu (tauhid).
Program DD ini bertujuan membantu pelestarian budaya tradisional lokal dan sekaligus menjaga agar dapur para seniman panggung tetap "mengepul" (memberi penghasilan).
Membangun Peradaban
Gelar Budaya Ramadan atas prakrasa DD digelar pertama kali di Kebon Binatang Jurug Solo, Jawa Tengah, yang nama resminya Taman Satwa Jurug Solo (TSJS), Jumat (9/6) malam.
Sesuai dengan tujuannya untuk dakwah dan pemberdayaan kaum duafa, acara itu dikemas dalam sebuah layanan holistik, integralistik berkat kerja sama DD dengan TSJS dan mitra kerja lokal.
Acara ini dimulai dengan aksi layanan sehat, pemeriksaan mata, dan pemberian kaca mata gratis kepada kaum duafa, termasuk anak-anak, sejak pagi hari, lomba membuat foto dan video jurnalistik tentang satwa, tablig akbar, berbuka puasa bersama, Salat Tarawih, dan puncaknya pentas ketoprak dengan lakon Dakwah Sunan Kalijaga dan pentas wayang kulit Tauhid.
Ketoprak itu hanya berdurasi selama sekitar 1 jam dan wayang Tauhid juga 1 jam, mulai pukul 20.00 WIB, melibatkan seniman/budayawan Solo dan anggota Paguyuban Keraton Surakarta dari Solo dan daerah sekitarnya dengan imbal jasa yang memadai.
Setelah gelar budaya, masih tersedia cukup waktu bagi Muslim untuk melakukan ibadah malam hari, terutama membaca Alquran.
Hadir antara lain Gusti Kanjeng Ratu Wandansari dan sejumlah kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat. Konon, dalam sejarah baru pertama kali itu seorang ratu hadir di Bonbin Solo. Dirut TSJS, Bimo Wahyu Widodo, terlibat aktif dalam perhelatan itu.
Sebelum gelar budaya itu, DD telah dua kali bekerja sama dengan TSJS, yakni membangun kios (shelter) para pedagang tahun lalu dan sarasehan di Taman Gesang, bertajuk Membangun Peradaban di Kebun Binatang sekitar 2 minggu sebelum bulan puasa 2017.
Tajuk itu sengaja dipilih, merujuk pada sebuah ungkapan: Peradaban suatu bangsa tercermin dalam kesejahteraan satwa yang hidup di dalam kerangkeng kebun binatang milik bangsa itu. Kalau satwa itu menderita karena tidak atau salah urus, tingkat peradaban bangsa itu belum tinggi.
Taman Gesang dibangun di pinggir Bengawan Solo oleh sebuah perkumpulan teman-teman Gesang di Jepang untuk menghormati jasa sang maestro musik Keroncong kelahiran Solo itu.
Kondisi taman yang dilengkapi dengan gazebo untuk bermain dan menikmati musik keroncong itu kini memerlukan perhatian, terutama untuk renovasi.
*) Penulis adalah pendiri Yayasan Dompet Dhuafa, wartawan senior, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998 s.d. 2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005 s.d. 2010.
(A041/D007)
Oleh Parni Hadi *)
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017