Umat muslim bersuka cita menyambut Hari Raya setelah sebulan berpuasa. Berbagai tradisi dilakukan dan telah dipersiapkan, mulai dari mudik, baju baru yang kembar sekeluarga besar hingga kudapan berat maupun ringan.
Namun hal itu nampaknya tak berlaku bagi Ali (18).
"Iya, besok Idul Fitri. Tapi bagaimana kami mau merayakan, uang saja tidak punya," ujar Ali.
"Kami bisa makan saja sudah bersyukur sekali," sambung Ali.
Dia bersama tiga orang adik perempuannya dan adiknya baru saja sampai di Indonesia dua minggu lalu dari rumahnya di Afganistan untuk mencari suaka dari lembaga dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pengungsi (UNHCR).
Tak ada persiapan spesial yang dilakukan oleh Ali dan keluarga pada malam 1 Syawal 1438H atau Sabtu malam (24/6).
Demikian pula dengan sejumlah orang berwajah Timur Tengah yang ditemui ANTARA News di jalan Kebon Sirih Barat tepatnya di sebelah Menara Ravindo atau di jalan masuk Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih yang terkenal itu.
Beralaskan kardus yang mereka lapisi lagi dengan tikar berbahan plastik, mereka duduk "mengemper" di sisi kanan dan kiri jalan. Di situ pula tempat mereka merebahkan diri saat kantuk datang.
"Bayangkan saja kalau hujan turun. Ini sulit sekali, terutama untuk anak kecil, lihat saja," ujar Ali sambil menunjuk salah seorang anak kecil yang berada di dekat kami berbicara.
Dia juga menunjuk tempat dia bersama keluarganya tidur, sambil berkata, "Adik perempuan saya paling kecil berusia 5 tahun."
"Saya anak laki-laki satunya," Ali mulai bercerita.
Meskipun masih remaja, Ali sadar betul sebagai anak laki-laki satu-satunya dia punya tanggung jawab besar untuk melindungi keluarga.
"Kamu tahu kan kondisi di sana (Afghanistan)? Bom di mana-mana, penculikan, bahkan saya tidak tahu apakah Ayah saya masih hidup," ujar dia.
"Kami mendengar banyak tentang Indonesia, bahwa di sini mereka (UNHCR) dapat membantu kami," lanjut dia.
Perbincangan kami terputus saat beberapa orang melintas untuk mempersiapkan makan malam. Ada yang membawa penanak nasi, ada pula yang membawa peralatan makan.
"Kami makan dari pemberian orang di sekitar, kalau tidak ada yang memberi ya kami tidak makan," ujar Ali.
Perempuan paruh baya, yang belakangan diketahui Ibu Ali, menghampiri Ali dan berbincang dalam bahasa Persia. Ali kemudian mengajak untuk duduk di tempat dia dan keluarganya beristirahat.
Di sana Ibu Ali telah mempersiapkan makanan; satu mangkuk berisi nasi, dan satu mangkuk lagi berisi kari. Ibu Ali kemudian mengeluarkan roti berukuran jumbo dan lebar mirip roti Cane dari kantong plastik.
Dengan senyum ramah dan bahasa tubuh Ibu Ali mempersilakan untuk makan. Ali yang pandai berbahasa Inggris juga mengajak untuk makan.
(Video Lebaran bersama para pencari suaka)
Saling Berbagi
Dari keterangan Ali diketahui ada rumah yang dijadikan semacam "basecamp" oleh para pencari suaka.
Kebetulan saat itu ANTARA News bertemu dengan pemuda Indonesia bernama Petra Marwie yang tengah memberikan perlengkapan bersih-bersih, seperti sabun mandi dan deterjen, serta karpet.
Petra yang mengatakan "mulai belajar berbagi" pada Februari lalu kemudian mengajak untuk berkunjung ke "basecamp" yang terletak persis di sebelah rumah Ketua RT.
Basecamp yang biaya sewanya ditanggung oleh seorang donatur tersebut berbentuk rumah petak tingkat dua dengan ruang tamu beralas karpet kemudian dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi dan tangga menuju dua kamar di lantai atas.
Satu kamar di lantai atas terkunci, karena pemiliknya, menurut Petra, sedang pergi ke Bogor, satu kamar lagi dipenuhi tas-tas, kardus-kardus, ember-ember, serta pakaian dan handuk yang bergelantungan.
Dari Petra diketahui bahwa sebenarnya telah disediakan penampungan bagi para pencari suaka, namun hanya diperuntukan bagi orang tua, perempuan dan anak-anak di bawah 18 tahun. Itu pun "memiliki kuota", sehingga harus menunggu ada yang pergi untuk dapat masuk dalam penampungan tersebut.
Saat berbincang dengan Neneng, Ibu RT 003 RW 02 Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, dia mengatakan memiliki kisah "pahit-manis" bersama para pencari suaka.
"Selasa kemarin, malam-malam tiba-tiba ada yang gedor pintu. Tau-taunya ada yang muntah-muntah itu (pencari suaka)," kata Neneng.
Tanpa pikir panjang Neneng memberhentikan taksi dan mengirim seorang pencari suaka ke klinik. Dia memberi uang Rp200.0000 untuk biaya berobat. Padahal, uang itu akan dia belikan baju baru untuk anak kembarnya.
Pendapatan yang terhitung pas-pasan -- suaminya berprofesi sebagai security dan dua anak kembar berkebutuhan khsusus -- tak membuat Neneng menutup mata hatinya.
Neneng mengaku banyak orang yang telah menasihatinya untuk tidak terlalu peduli pada para pencari suaka dengan mengatakan bahwa mereka terlalu berat dalam kapasitas Neneng sebagai ketua RT.
""Mereka (para pencari suaka) itu urusan dunia, kamu enggak usah ikut campur" begitu kata mereka. Tapi, namanya sesama manusia masa' ya tega," ujar Neneng.
(Para pencari suaka yang sebagian besar berasal dari Afganistan saling berpelukan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1438H, Minggu (25/6/2017). Mereka sebagian besar tidur dan beraktifitas di sekitar Jalan Kebon Sirih Barat)
Hari Kemenangan
"Mereka terlihat sangat cantik," ujar Fakhira (16), adik Ali, menerjemahkan perkataan Ibunya dalam bahasa Persia ke bahasa Inggris kepada ANTARA News, Minggu.
Saat itu tatapan mata Ibu Fakhria tertuju kepada sejumlah remaja seusia Fakhria.
Takbir telah selesai dikumandangkan, jalan Kebon Sirih Barat dilewati oleh para pejalan kaki, satu - dua orang, bahkan ada yang bergerombolan.
"Biasanya juga bersilaturahmi ke keluarga dan kerabat. Hari pertama, kedua, ketiga, biasanya kami berkeliling. Tapi sekarang tidak, tidak ada yang bisa kami dikunjungi," ujar Fakhria bercerita sambil tersenyum dan menatap segerombolan orang.
Para warga sekitar memang tengah melakukan halal bi halal usai melaksanakan shalat Idul Fitri. Fakhria sendiri mengaku tidak melaksanakan shalat sunnah tersebut. "Pakaian kami terlalu kotor, jadi kami hanya membaca Quran saja di sini," kata dia.
Sementara itu, Ali masih tidur, Ibunya sesekali membenarkan selimut anak laki-laki satu-satunya itu sambil mengusap rambutnya. Ali sedang tidak enak badan, kata Ibunya.
Dari penuturan Fakhria diketahui bahwa Ali sebenarnya telah terlebih dahulu tiba di Indonesia, tepatnya 17 bulan yang lalu. Dari Ali pula dia mengetahui bahwa Indonesia tempat yang aman dan ada orang yang dapat membantu untuk mendapat kehidupan yang lebih baik.
Fakhria bersama dua adik perempuan dan ibunya kemudian menyusul dengan menumpangi kapal dan tiba dua pekan lalu. "Aku tidak menghitung berapa lama (di kapal), karena waktu itu dalam keadaan sangat takut," kata dia.
Fakhria ternyata lahir di Pakistan. Setahun setelah Ali dilahirkan di Afganistan, keluarganya pindah ke Paskitan. Di sana pula lahir dua adik perempuan Fakhria, Zukriah (13) dan Zahra (5).
Kondisi Pakistan yang semakin kacau balau, "bom di mana-mana" sebut Fakhria, membuat Ali akhirnya harus mencari suaka ke Indonesia.
Ali akhirnya terbangun dari tidurnya, sambil tersenyum dia menyapa "Apa kabar?". Dia mengaku tidak bisa tidur semalam, wajah -- hidung dan mata -- serta telinganya -- terasa tidak enak.
Ibu Ali kemudian mengeluarkan roti cane untuk sarapan. Keluarga Ali tidak sendirian, tidak jauh dari mereka terdapat empat keluarga lainnya. Ada yang sudah memiliki anak, ada pula pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak.
Mereka nampak berbagi teh hangat dan roti. Salah satu dari mereka mengajak untuk sarapan bersama. Ibu muda asal Afganistan itu kemudian menyodorkan secuil roti yang menurut Fakhria bernama Bosraq. "Ini roti khas Lebaran," ujar dia.
Selain Bosraq, ibu dua anak itu juga menawarkan kue nastar yang dia dapat dari orang Indonesia. Saat kami sedang duduk mengemper tiba-tiba seorang ibu setengah baya menghampiri kami dan menjejalkan uang baru pecahan Rp10.000 kepada tangan mungil anak-anak.
"Selamat Idul Fitri," kata dia sambil menyalami kami yang ada di situ.
Idul Fitri 1438H memang terasa berbeda bagi Fakhria.Meski demikian, doa tidak pernah putus dia panjatkan.
"Semoga kami semua, tidak hanya keluarga saya, punya kehidupan yang lebih baik," ujar dia.
Gadis berkulit putih itu juga ingin melanjutkan sekolahnya. "Sekolah itu kunci masa depan untuk kehidupan lebih baik," kata Fakhria.
Dia juga bertekad untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter.
"Dulu waktu Ibu saya sakit kami tidak bisa berobat karena tidak punya biaya. Kalau saya menjadi dokter nanti saya akan memberikan pengobatan secara cuma-cuma untuk orang-orang seperti kami," ujar Fakhria.
"InshaAllah," tambah dia.
Oleh Arindra Meodia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017