Jakarta (ANTARA News) - Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno memastikan proses negosiasi pemberlakuan pajak bagi PT Freeport Indonesia masih terus berjalan dan belum ada keputusan yang mengikat.Freeport itu `prevailing`, tapi maunya `nail down`, ini belum disepakati, masih dalam perundingan."
"Freeport itu prevailing, tapi maunya nail down, ini belum disepakati, masih dalam perundingan," kata Fajar seusai mengikuti rapat mengenai kelanjutan negosiasi Freeport di Jakarta, Selasa.
Dia mengakui proses negoisasi ini terus berlangsung karena perundingan belum menemukan kata sepakat yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Mengenai masa perpajangan operasi Freeport hingga 2041, Fajar hanya bisa memastikan adanya masa perpanjangan operasional 2x10 tahun yang telah tercantum dalam ketentuan berlaku.
"Itu disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Perpanjangan dengan syarat smelter harus jadi dalam lima tahun kedepan," katanya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menegaskan Freeport harus tetap patuh dengan ketentuan pajak "prevailing" atau sesuai ketentuan fiskal yang berlaku pada saat ini.
Penetapan pajak "prevailing" ini sesuai dengan perubahan status Freeport dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), agar masih bisa melakukan ekspor konsentrat.
Namun, Freeport ingin mengikuti ketentuan pajak sesuai Kontrak Karya atau "nail down". Padahal dengan adanya Kontrak Karya, sesuai UU Minerba, Freeport sudah tidak boleh melakukan ekspor konsentrat.
Untuk itu, proses negosiasi masih berlangsung antara pemerintah dengan Freeport, terutama terkait penetapan pajak, pembangunan smelter, divestasi saham 51 persen untuk pemerintah serta stabilitas investasi.
Berdasarkan Kontrak Karya, masa operasional Freeport di Indonesia akan berakhir pada 2021 dan masih terbuka ruang untuk perpanjangan melalui proses perundingan.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017