"Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 112, Pasal 114, serta Pasal 127 UU Narkotika, yang memuat sanksi pidana bagi pelaku penyalahgunaan narkotika," ujar kuasa hukum Pemohon, Yustisia Andang, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Jumat.
Pemohon menilai pasal-pasal tersebut menyebabkan pemohon kehilangan hak untuk direhabilitasi, padahal sebagai pengguna seharusnya pemohon dipandang sebagai korban.
Namun pemohon dikenakan Pasal 112 dan Pasal 114 yang seharusnya dikenakan kepada para pengedar sebagai pihak yang melakukan kejahatan berat.
"Tetapi Pasal 127 justru dihilangkan dan tidak diterapkan kepada si pemakai atau pengguna narkotika, sehingga pemohon pun kehilangan haknya untuk diberikan kesempatan rehabilitasi," ujar Andang.
Oleh sebab itu, pemohon mengajukan tambahan ayat penegasan terhadap Pasal 112 UU Narkotika, agar mewajibkan adanya barang bukti berupa narkotika golongan I bukan tanaman, yang dimiliki, disimpan, atau dikuasai oleh tersangka atau terdakwa.
Demikian juga untuk Pasal 114, pemohon mengajukan penambahan ayat penegasan supaya dalam penerapannya dapat diwajibkan barang bukti berupa narkotika golongan I bukan tanaman yang dimiliki, disimpan, atau dikuasai oleh tersangka atau terdakwa.
Atas permohonan pemohon, Majelis Hakim mengingatkan bahwa MK bukanlah pembuat undang-undang, sehingga penambahan ayat seperti yang diajukan oleh pemohon tidak menjadi kewenangan mereka.
"Menambahkan ayat tidak bisa karena MK bukan positive legislator. MK bersifat negative legislator," ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Pendapat senada juga dilontarkan Hakim Konstitusi Aswanto yang mengatakan bahwa MK bisa melakukan tafsir, namun tidak bisa menambahkan ayat dalam undang-undang.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017