Mataram (ANTARA News) - Gubernur Nusa Tenggara Barat TGH Muhammad Zainul Majdi angkat bicara terkait polemik dari rencana pembangunan fasilitas kereta gantung menuju Taman Nasional Gunung Rinjani oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah bekerja sama dengan investor Tiongkok.Perizinan kehutanan, apalagi itu di kawasan hutan lindung. Itu sangat ketat
Gubernur yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) ini, menegaskan pembangunan di kawasan hutan lindung tidak boleh dilakukan jika melanggar undang-undang.
"Perizinan kehutanan, apalagi itu di kawasan hutan lindung. Itu sangat ketat," kata gubernur di Mataram, Selasa.
Gubernur mencontohkan sulitnya ketika Pemerintah Provinsi ingin memperlebar jalan dari Lombok Internasional Airport (LIA) menuju kawasan wisata Kuta, Lombok Tengah.
"Untuk bangun jalan saja. Kita punya satu dua kasus, misalnya jalan dari bandara ke Kuta, itu di tikungan ada sedikit yang masuk kawasan hutan. Kita mau melebarkannya saja susahnya minta ampun, padahal sudah ada jalan disitu. Artinya penjagaan terhadap hutan lindung sesuai UU sangat ketat," ucapnya.
Menurut Gubernur, masih banyak cara untuk memaksimalkan potensi Gunung Rinjani tanpa harus membangun fasilitas, seperti kereta gantung.
"Kalau bisa kita melibatkan potensi tanpa menabrak UU justru jauh lebih baik. Jangan sampai kemudian keluar izin melanggar UU, seperti sejarah hutan Sekaroh jadinya nanti," ujar Gubernur.
TGB mengaku tidak ingin, apa yang terjadi di hutan Sekaroh, Kabupaten Lombok Timur, juga nantinya terjadi pada rencana pembangunan kereta gantung di Rinjani.
"Kan Sekaroh itu begitu jelas hutan dijual untuk pribadi, sekarang ribut. Ada yang sudah menjadi tersangka, ada juga yang begini begitu," tuturnya.
Untuk itu, agar kasus serupa tidak kembali terulang, TGB berharap semua pihak, terutama Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah untuk mempedomani aturan yang sudah ada.
"Masih banyak ruang yang memungkinkan kita untuk melakukan cara kreatif memanfaatkan pariwisata tanpa harus bersentuhan dengan UU," tegas TGB.
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017