Cerita dari para tetua, Desa Sekonyer yang berada di taman nasional itu menjadi basis perjuangan rakyat Kotawaringin Barat, Kalteng dengan pimpinan Panglima Utar.
Nama Sekonyer yang memang asing bagi lidah melayu itu, ternyata merupakan nama Kapal Patroli Belanda Lonen Konyer yang karam di muara sungai akibat tembakan meriam para pejuang yang bersembunyi di balik rimbunnya pohon nipah.
Saat itu sekitar tahun 1948, Belanda berusaha kembali menjajah dengan menggempur basis-basis gerilyawan Indonesia.
Nama kapal itu kemudian dijadikan nama sungai menggantikan Sungai Buaya, sekaligus juga dijadikan nama desa yang dulu berada di Kantor Resort Tajung Harapan, Taman Nasional Tanjung Puting.
Suriansyah, Kepala Desa Sekonyer mengatakan, dulu kantor desa masuk dalam kawasan taman nasional, namun begitu ada rencana perluasan taman nasional di tahun 1975 balai desa dipindah ke seberang utara Sungai Sekonyer.
"Buktinya pekuburan warga desa juga masih ada sekitar 100 meter dari resor itu, dan penduduk di sini masih dimakamkan di sana," katanya yang baru terpilih jadi kades November 2016.
Ia mengungkapkan masih ada kisah misteri seputar kapal sekonyer itu karena sejak peristiwa itu ada penduduk masih sering melihat bangkai kapal itu muncul.
Menurut dukun setempat kapal itu dipeluk mahluk gaib, jika pelukan mahluk gaib itu longgar maka akan terlihat bangkai kapal itu. Penduduk memang tidak berani mendekat ke perairan itu pada tahun itu jumlah buaya muara mencapai ratusan ekor. Saat ini sudah jarang penduduk melihat bangkai kapal, mungkin karena sudah lapuk.
Sampai saat inipun kawasan Taman Nasional masih menyimpan kisah misteri adanya kekuatan gaib yang menguasai tempat tertentu sehingga wisatawan diminta untuk tidak berkata sembarangan, apalagi mengeluarkan kata yang menantang penghuni kawasan itu.
Jantor, petugas di Resort Tanjung Harapan yang merupakan keturunan Dayak Barito, mengatakan kekuasaan mahluk halus tersebar di beberapa titik, bahkan mereka paham di setiap pohon yang bercabang dua baik membentuk "Y" atau "L" diyakini ada penghuninya.
"Jangan main pukul pohon yang ditemui dan kita harus sering mengucap permisi, apalagi kalau mau buang air kecil," katanya.
Di Sungai Sekonyer juga masih sering terlihat buaya putih dan tidak boleh dikejar. "Itu artinya di titik pemuncuan itu tidak boleh diganggu," katanya.
Jadi jangan sungkan mengucap permisi jika melintasi jalan tertentu dan selalu mengindari tempat yang memang jarang dilalui.
Di tengah sungai itu ada cabang sungai mengarah ke Kamp Leakey yang dinamakan Sungai Simpang Kanan. Muara anak sungai itu dinamakan Muara Ali, untuk mengenang Pak Ali, seorang petugas polisi yang menghilang saat bertugas menjaga salah satu pos dari aktifitas ilegal logging.
Tenggelamnya Klotok
Salah satu peristiwa yang menunjukkan masih adanya kehidupan lain di Sungai Sekonyer adalah tenggelamnya perahu wisata "Pesona Eco Tour 2" pada Oktober 2016.
Kapal yang tengah bersandar sekitar ratusan meter dari dermaga Resor Pesalat itu tenggelam, padahal tidak ada sesuatu yang menghantam kapal itu.
Ada tiga awak kapal dan empat turis asing yang ikut tenggelam. Tidak ada korban jiwa karena mereka naik di atas atap kapal. Namun tangan-tangan mereka sebagian lecet karena berusaha menjangkau pohon di pinggir sungai yang mempunyai duri.
Nasyrani, petugas TNTP yang ikut menolong para korban mengatakan semua orang saat itu bingung bagaimana kapal tenggelam begitu cepat padahal tidak ada kebocoran.
Tak berapa lama setelah kapal itu tenggelam, seorang penduduk mengalami kesurupan.
Dari dukun yang berdialog dengan ruh itu terungkap bahwa kapal itu berlabuh bukan ditempat semestinya karena justru menabrak rumah milik penghuni makhluk halus.
Mahluk halus itu marah-marah karena rumahnya ditabrak kapal sehingga kedua orangtuanya kabur. "Mana orang tua saya, kok seenaknya merusak rumah sampai orang tua saya pergi," kata Nasyrani menerjemahkan ucapan orang tadi.
Mahluk halus itu mengaku sudah memberikan peringatan agar kapal tidak merapat ke pinggir, namun tidak digubris dan menabrak rumah mereka.
Nahkoda juga mengaku saat akan merapat banyak piring-piring yang berjatuhan di dapur, tapi tak paham kalau itu sebuah peringatan.
Akhirnya diupayakan jalan damai sekaligus meminta bantuan agar kapal bisa diangkat kembali.
Orang yang kesurupan itu meminta mandi di mata air keramat yang ada di sekitar kebun anggrek, kemudian meminta dibuatkan rumah pengganti yang sudah rusak.
Sang dukun kemudian membuatkan rumah pengganti yang dalam pandangan normal manusia hanyalah tongkat kayu yang diberi lilitan kain kuning.
Tongkat kayu itu kemudian ditanjapkan di pinggir kapal yang tenggelam. Setelah itu barulah sang mahluk halus memberikan petunjuk bagaimana cara agar kapal bisa diangkat kembali.
Warga yang akan bergotong royong mengangkat kapal harus menggunakan kaos kaki yang berbeda warna di kaki kanan dan kirinya. Kemudian buaya siluman penguasa Sungai Sekoyer akan muncul dan berusaha mengangkat dari dasar perahu.
Benar saja, saat belasan warga sudah terjun ke pinggir kapal, tiba-tiba muncul buaya besar yang langsung masuk ke bagian bawah perahu.
Perlahan perahu terangkat dan mulai awak kapal berusaha membuang air yang masuk bagian dalam kapal.
Beruntung tas yang memuat dokumen penting milik wisatawan asing itu masih ada.
Sampai saat ini tongkat dengan lilitan kain kuning itu masih bisa dilihat siapapun yang melintas. Para nakhoda kapal paham di tempat itu ada hunian gaib sehingga sekarang tak ada lagi yang berani menambatkan kapal di sekitar itu.
Kapal Pesona Eco Tou 2 yang bercat putih dengan garis hijau tosca itu sudah diperbaiki dan sampai sekarang masih juga melayani wisatawan menyusuri Sungai Sekonyer.
Kapal-kapal klotok wisata itu memang bermalam di sejumlah dermaga yang ada atau di luar dermaga karena wisatawan ingin mendapatkan sensasi bermalam di tengah hutan belantara.
Saat musim puncak kunjungan wisatawan asing yaitu bulan Agustus-September jumlah perahu klotok wisata yang memenuhi Sungai Sekonyer mencapai 80-an. Tidak semua mampu bersandar persis di dermaga sehingga ada yang bermalam di tempat lain.
Bahkan wisatawan asing sekarang gemar bermalam di sekitar muara sungai yang dipenuhi ribuan pohon nipah. Sensasinya saat malam hari karena ribuan kunang-kunang muncul dari pohon nipah dan beterbangan masuk kapal dan menempel pada kelambu.
Suasana hutan belantara masih diminati wisatawan penyuka petualangan, namun kearifan lokal yang masih meyakini adanya kehidupan lain di kawasan itupun harus dihormati.
Kearifan itu tidak lain agar kita tidak semena-mena memperlakukan alam dan menganggu ekosistem hutan.
Pewarta: Budi Santoso
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017