Cikarang (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa penyederhanaan ambang batas presiden (presidential threshold) menjadi 20 persen dalam Undang-undang Pemilu penting untuk visi politik Indonesia ke depannya.Kita sudah mengalami 2 kali `presidential threshold` 20 persen pada 2009 dan 2014, kenapa dulu tidak ramai?"
"Ini mempertanyakan presidential threshold 20 persen, kenapa dulu tidak ramai? Penyederhanaan sangat penting sekali dalam rangka visi politik kita ke depan," kata Presiden Joko Widodo di Cikarang, Jumat.
Hal itu disampaikan menanggapi pernyataan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto saat bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas pada Kamis (27/7).
"Karena kita tidak mau ditertawakan sejarah. Kekuasaan silakan mau berkuasa 5,10, 50 tahun, tapi di ujungnya sejarah menilai. Gerindra tidak mau ikut hal yang melawan logika, presidential threshold 20 persen itu lelucon politik yang menipu rakyat, saya tidak mau terlibat," kata Prabowo.
Saat itu Prabowo menekankan Gerindra tidak ikut bertanggung jawab atas UU Pemilu tersebut.
"Kita sudah mengalami 2 kali presidential threshold 20 persen pada 2009 dan 2014, kenapa dulu tidak ramai?" tambah Presiden.
Presiden mencontohkan bahwa bila "presidential threshold" adalah 0 persen seperti yang diinginkan partai-partai non-koalisi pemerintah, presiden akan sulit mendapatkan dukungan di parlemen.
"Coba bayangkan, saya ingin berikan contoh, kalau (presidential threshold) 0 persen, kemudian satu partai mencalonkan diri kemudian menang. Coba bayangkan nanti di DPR, di parlemen? Kita dulu yang 38 persen saja kan waduh," ungkap Presiden.
Presiden berharap agar rakyat mengerti tujuan pemerintah untuk menggolkan "presidential threshold" 20 persen itu.
"Ini proses politik yang rakyat harus mengerti, jangan di apa itu ditarik-tarik seolah-olah presidential threshold 20 persen itu salah," tegas Presiden.
Apalagi UU Pemilu itu juga adalah produk dari DPR dan pemerintah, bukan semata-mata pemerintah.
"Sekali lagi ini produk demokrasi yang ada di DPR, ini produknya DPR, bukan pemerintah. Di situ juga ada mekanisme proses demokrasi yang ada di DPR dan kemarin juga sudah diketok dan aklamasi, betul? Nah itulah yang harus dilihat oleh rakyat," ungkap Presiden.
Bila ada yang tidak puas dengan UU Pemilu, Presiden Joko Widodo juga menyilahkan untuk mengajukan uji materi ke MK.
"Jadi ya silakan itu dinilai, kalau masih ada yang tidak setuju, kembali lagi bisa ke MK, inilah negara demokrasi dan negara hukum yang kita miliki. Dulu ingat, dulu meminta dan mengikuti (presidential threshold 20 persen), kok sekarang jadi berbeda?" tambah Presiden.
Rapat paripurna DPR pada Jumat (21/7) dini hari menyetujui Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu untuk disahkan menjadi Undang-undang secara aklamasi meski diwarnai aksi "walk out" Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PKS, Fraksi PAN, Fraksi Demokrat.
Dalam rapat tersebut sebanyak 322 anggota DPR menyetujui paket A yaitu "presidential threshold" sebanyak 20-25 persen, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 4 persen, sistem pemilu terbuka, dapil magnitude DPR atau besaran kursi sebesar 3-10 dan metode konversi suara menggunakan sainte lague murni.
Partai pendukung pemerintah yaitu PDI-Perjuangan, Partai Golkar, PPP, PKB, Hanura dan Nasdem berhasil mengawal paket A yang merupakan opsi pemerintah.
Partai Gerindra sudah menyatakan akan melakukan uji materi terkait Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu tersebut.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017