• Beranda
  • Berita
  • Liga Arab desak Israel belajar dari krisis Al-Aqsa

Liga Arab desak Israel belajar dari krisis Al-Aqsa

28 Juli 2017 20:48 WIB
Liga Arab desak Israel belajar dari krisis Al-Aqsa
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas (ANTARA FOTO/HO/Nico Adam)
Kairo (ANTARA News) - Liga Arab mengatakan pada Kamis, pembatalan penggunaan pemindai logam oleh Israel di masjid Al-Aqsa di Yerusalem menyelesaikan krisis segera namun mendesaknya untuk belajar dari pengalaman itu guna mencegah kejadian serupa pada masa depan.

Perselisihan tersebut meletus setelah Israel memasang pemindai logam, kamera dan penghalang baja di pintu masuk umat Muslim ke kompleks Al Aqsa, yang dikenal umat Muslim sebagai Tempat Suci, menyusul pembunuhan dua polisi Israel pada 14 Juli oleh orang Arab bersenjata, yang menyembunyikan senjata di dalam plasa berdinding itu.

Langkah tanpa pemberitahuan itu memicu kerusuhan berhari-hari, dengan bentrokan di jalan di Yerusalem Timur. Pasukan Israel menembak mati empat warga Palestina dan seorang pria Palestina menusuk serta membunuh tiga orang Israel di rumah mereka di Tepi Barat, yang diduduki Israel.

"Penarikan Israel dari tindakan provokatif dan ilegalnya memecahkan krisis, yang mereka ciptakan," kata Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit pada pertemuan darurat menteri luar negeri Arab pada Kamis.

"Berurusan dengan tempat suci Islam dengan langkah tidak bersahabat semacam itu menimbulkan ancaman nyata untuk memicu perang agama, karena tidak ada seorang pun Muslim di dunia menerima penodaan Al-Aqsa atau penutupannya di hadapan jamaah atau menempatkannya di bawah kendali Israel," kata Aboul Gheit. Kompleks ini adalah situs paling suci ketiga dalam Islam.

"Saya meminta negara penjajah untuk mengambil pelajaran dari krisis ini dan pesan yang dibawanya," kata Aboul Gheit menambahkan.

Israel merebut Jerusalem Timur, termasuk Kota Tua yang berdinding dan kompleks al Aqsha, dalam perang Timur Tengah 1967. Israel mencaplok area tersebut dan menyatakannya sebagai bagian dari "tak terpisahkan dari ibu kota", sebuah langkah yang belum pernah diakui secara internasional.

Warga Palestina menginginkan Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara Palestina masa depan, dan sangat peka terhadap kehadiran pasukan keamanan Israel di dalam dan sekitar Tempat Suci.

Keputusan Israel untuk memindahkan pemindai logam dan perangkat keamanan lainnya menandai kemajuan yang signifikan oleh pemerintah sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Langkah ini mengikuti hari-hari upaya diplomatik oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, keterlibatan utusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Timur Tengah dan tekanan dari negara-negara di kawasan ini termasuk Turki, Arab Saudi dan Jordania.

Sebelumnya Liga Arab memperingatkan Israel "bermain dengan api" atas "garis merah" Jerusalem.

Ketegangan seringkali meningkat di sekitar kawasan tersebut, yang di dalamnya berdiri Masjid Al Aqsa dan Kubah Batu Emas. Gesekan terjadi sejak Israel merebut dan mencaplok Kota Tua, termasuk kawasan suci itu, dalam perang Timur Tengah 1967.

Gelombang serangan jalanan oleh warga Palestina, yang dimulai pada 2015, berkurang, namun belum berhenti. Sedikit-dikitnya 255 warga Palestina dan satu warga Yordania tewas sejak kekerasan dimulai, demikian Reuters.

(G003/B002) 


Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017