Meski zaman sudah berkembang dan modern, namun untuk melahirkan suatu gambar dalam sehelai kain tenun tradisional khas suku Dayak, para penenun menemukan idenya dari mimpi-mimpi yang dialami.
Mimpi tentang kehidupan, dewa, manusia, hewan, tumbuhan, bahkan hantu, itu kemudian dituangkan dalam gambar ataupun lukisan di kain-kain tenun yang dibuat para perempuan Dayak yang mendiami rumah betang di wilayah kabupaten di Kalimantan Barat. Melalui kain tenun, para penenun menuangkan cerminan kehidupan yang muncul dari mimpi-mimpi mereka.
Ketua Dewan Kesenian Kalbar, Yohanes Palaunsoeka mengatakan, gambar di kain tenun, pada dasarnya merupakan suatu lukisan. Lukisan penggambaran dari mimpi atau ilham si penenun. "Jadi apa yang dia dapatkan dalam alam mimpi, dia tuangkan dalam bentuk tenunan," kata budayawan itu saat ditemui di Rumah Adat Radakng Pontianak beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan, rata-rata gambar dalam tenunan tetap merupakan ruang lingkup kehidupan manusia, tetap ada hubungannya dengan manusia, alam atas, dan alam bawah. Juga dengan alam sekitar, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. "Keseimbangan kehidupan antara manusia dengan alam, sangat luas," katanya.
Dalam tenunan, juga digambarkan tentang nasib. Tentang sampan karena transportasi zaman dulu dengan sampan, kemudian ada pucuk rebung karena dalam kehidupan itu untuk sayur mayur makanan mereka. "Namun jika dalam mimpi mereka (penenun) bertemu dengan buaya, atau ular, nah itulah yang digambarkan dalam abstraksi mereka, bentuk ular, buaya, bisa juga bentuk manusia," katanya menambahkan.
Jika manusia, maka itu kemungkinan penggambaran dari dewa, dewa pelindung, ada juga kemungkinan hantu, hantu penjaga air. Semua itu adalah presentasi dari ekspresi mereka dengan pola-pola abstraksi bentuk dari apa yang mereka inginkan.
"Memang agak sulit kalau kita melihat gambarnya. Kita sulit untuk menjelaskan ini artinya apa, ini artinya apa," ucapnya.
Penggambaran dari mimpi itu, menurut Yohanes, bukan hanya terjadi pada masa dahulu saja, tetapi sampai sekarang pun masih seperti itu.
Sementara mengenai pola dasar gambar atau lukisan di kain tenun, dibuat berdasarkan tingkatan umur. Para gadis biasa belajar dari umur belasan tahun atau menjelang akil baligh (telah sampai usai masa dewasa). Mereka diajarkan membuat sesuatu untuk keperluan hidup, seperti pakaian atau bagaimana cara merias diri. Untuk buat pakaian, mereka belajar menenun. Pola tenun yang paling sederhana yang diajarkan untuk anak gadis, rata-rata biasanya gambar pakis, makanya orang berbentuk pakis.
Kemudian ada tingkatan lain. Rata-rata yang boleh menggambar berbentuk binatang naga atau dewa, untuk yang sudah cukup umur 40 atau 50 tahun ke atas. Harus seperti itu, karena ada di dalam tatanan, dikhawatirkan bagi anak gadis jika membuat pola-pola gambar naga dan dewa, jiwa mereka belum kuat. Bisa terbawa dengan apa yang ada di dalam gambar tersebut sehingga menjadi gila, sakit, atau bahkan meninggal dunia.
Sehingga motif manusia, ular, naga, ataupun buaya, biasanya hanya dibuat oleh penenun yang berusia rata-rata 40-50 tahun ke atas. "Tak ada (usia) di bawah itu. Paling-paling mereka membuat ukiran seperti bentuk pakis, rebung, bendera, atau perahu," kata Yohanes menjelaskan.
Melestarikan Tradisi
Para penenun di rumah-rumah Betang Suku Dayak di Kalimantan, belajar menenun secara turun-temurun dari para orang tua mereka. Dari satu generasi ke generasi berikutnya. Mereka mencoba melestarikan tradisi. Namun juga harus diakui, seiring dengan pergeseran waktu, kini banyak anak muda Rumah Betang enggan menenun, tambah Yohanes.
Seperti yang dijumpai di Rumah Betang Ensaid Panjang, Kabupaten Sintang, Maria (40), mengaku belajar menenun dari ibunya, saat dia masih remaja. "Saya belajar dari mamak (ibu) saya," katanya saat ditemui di Rumah Betang Ensaid Panjang, pekan lalu.
Namun Maria baru mulai menenun setelah berkeluarga dan punya anak satu. Sebelumnya, sama seperti remaja umumnya, dia bersekolah dan bermain-main. "Saya baru menenun saat punya anak satu. Karena waktu muda dulu sekolah di Sintang. Sekarang sudah punya anak empat," katanya.
Penenun lain, Elisabet (37) juga belajar dari ibunya. Dia mengatakan saat remaja selepas pulang sekolah, banyak jalan-jalan. Baru setelah punya anak satu, tekun duduk di depan "pemantang" atau alat tenun tradisional.
Kini, Maria mengaku banyak generasi muda di rumah betang yang berdiri tahun 1986 tersebut enggan menenun, karena mulai mengenal telepon selular. "Anak saya asyik main hp saja, tak mau belajar menenun," kata perempuan berkaca mata itu.
Tetapi di sisi lain, Elisabet menambahkan, saat ini pengunjung Rumah Betang Ensaid Panjang semakin ramai, bukan hanya para turis asing, turis lokal pun banyak yang datang. Dan mereka selalu mencari dan membeli kain hasil tenunan warga rumah betang tersebut.
Karena kondisi itu, para remaja mulai belajar menenun dan membantu orang tua mengerjakan pesanan kain. "Dulu sedikit saja yang datang ke sini, tak banyak pesanan juga. Tapi sekarang ini sudah ramai," kata istri dari Stepanus itu.
Adanya pergeseran kebiasaan menenun, dibenarkan Yohanes Palaunsoeka. Menurut dia kondisi riil saat ini dimana komunikasi dan dunia informasi sudah sangat melampaui, juga dialami para penenun di rumah-rumah betang. Seperti yang terjadi di Sintang saat ini.
"Di Sintang itu bahkan drastis sekali. Tahun 90-an belum mengenal apa-apa, tahun 2000 mereka mulai mengenal dunia luar, sampai sekarang. Jadi memang ada kecenderungan minat anak-anak untuk menenun itu berkurang. Karena memang mereka sudah mulai berpikir praktis," kata budayawan itu.
Namun dia mengingatkan, saatnya kini perlu juga dari tahap dini, anak-anak itu diajarkan bagaimana menenun, polanya dengan pendidikan muatan lokal, agar mereka tetap mencintai dan mewarisi kepunyaan mereka sendiri.
Rumah Betang Ensaid Panjang sudah ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya sesuai Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Menurut situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, yang dimaksud Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Rumah Betang ini dapat dijangkau menggunakan kendaraan bermotor roda dua dan empat dari Kota Sintang, sekitar 1 jam perjalanan atau 58 kilometer. Para warga yang mendiami rumah betang tersebut dari Suku Dayak Desa. Mereka menenun secara turun temurun, mewarisi tradisi orang tua.
Maria yang memiliki anak empat, biasa menenun bermacam-macam motif untuk kain panjang, syal, taplak meja, bahkan sajadah untuk shalat. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak kain tenun yang dia buat sejak masih berusia muda.
Saat ditemui di rumah betang dengan 28 bilik itu, Maria, Sabtu (22/7), dia sedang menenun kain kebat (panjang) pesanan pelanggan dari Kabupaten Bengkayang. "Ini kain sudah dua bulan saya kerjakan, tapi baru sebagian jadi. Baru sekitar 50 persen," katanya.
Dia mengatakan, sehari-hari waktunya diisi dengan kesibukan menenun kain tersebut dan pengerjaannya sudah memasuki bulan ketiga.
Untuk membuat satu kain kebat, Maria terlebih dahulu membuat gambar pada kertas. Gambarnya yang sederhana saja. Sedangkan Elisabet, membuat pesanan syal dari bibinya yang bermukim di Sintang. Pesanan mencapai 60 helai. Baru selesai 28 helai dan saat ini masih dikerjakan untuk 14 helai syal dengan motif rotan.
Kedua orang ini menenun sedari pagi pukul 07.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Di sela-sela waktu tersebut, para perempuan ini menyempatkan diri memasak untuk makan siang anak dan suami, istirahat melepas lelah, dan mandi. Kemudian melanjutkan menenun hingga sore hari.
"Tak boleh menenun saat matahari terbenam, pantang (dilarang) bagi warga rumah betang ini. Kalau melanggar, kena hukum adat," kata Elisabet.
Oleh Nurul Hayat
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017