Sejumlah hutan lindung di Aceh terancam gundul

31 Juli 2017 12:51 WIB
Sejumlah hutan lindung di Aceh terancam gundul
Dokumentasi sebuah kawasan hutan terlihat gundul dan gersang akibat pembalakan di Tambu, Balesang, Donggala, Sulawesi Tengah, Minggu (1/5/2016). (ANTARA FOTO/Fiqman Sunandar)
Blangpidie, Aceh (ANTARA News) - Aksi perambahan hutan di perbatasan Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, akhir-akhir ini semakin marak, sehingga dikhawatirkan hutan lindung di kawasan itu terancam gundul.

Suryadi, warga Kecamatan Tangan-Tangan, Aceh Barat Daya, yang baru pulang dari Gayo Lues di Blangpidie, Senin mengatakan, hutan belantara yang berada di sepanjang jalan Desa Ie Mirah Babahrot -Terangun kini sudah bersih dibabat warga untuk lahan perkebunan.

"Sekarang, kalau masyarakat mau pergi ke Gayo Lues dengan menggunakan sepeda motor lewat jalan Ie Mirah Babahrot-Terangun, tidak perlu takut lagi, karena hutan di sepanjang jalan itu sudah bersih dibabat warga untuk berkebun," ujar dia.

Kepala Bagian Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Wilayah Blangpidie, Syukramizar, ketika dikonfirmasi, membenarkan, aksi perambahan hutan di kawasan jalan Ie Mirah-Terangun tepatnya di Kilometer 18, Krueng Sapi hingga ke perbatasan Gayo Lues belakangan ini cukup marak.

"Awalnya dari laporan Camat Babahrot, saya turunkan anggota untuk meninjau kebenaran di lapangan. Ternyata benar, ketika petugas pengamanan hutan tiba di kawasan mereka melihat masyarakat membabat hutan, malah ada yang membakar," katanya.

Ia menjelaskan, hutan belantara mulai dari Krueng Sapi Kilometer 18 hingga ke perbatasan Kabupaten Gayo Lues adalah kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) tidak boleh dirambah ataupun dibabat oleh siapapun jika tidak mengantongi izin dari pemerintah.

"Jadi, yang namanya dalam kawasan itu tidak boleh dibabat, tidak boleh ditebang apalagi dibakar. Jadi, kalau ada masyarakat yang ingin memanfaatkan lahan untuk berkebun di kawasan itu ada prosedurnya. Warga harus urus izin dulu pada pemerintah," tegasnya.

Ia mengungkapkan, luas areal kawasan hutan daerah itu yang telah dirambah ataupun dibabat masyarakat diperkirakan sudah mencapai 20 hektare lebih, lokasinya bertumpuk-tumpuk.

"Petugas sudah melarang agar tidak boleh membabat hutan di kawasan itu, tetapi warga tidak menghiraukan polisi hutan. Mereka berdalih untuk tanam Jernang atau tanaman Daemonoropsm," ujarnya.

Syukramizar mensinyalir, maraknya aksi perambahah hutan di kawasan perbatasan setelah warga mendengarkan program tanam Jernang yang disampaikan dalam visi-misi beberapa kandidat calon kepala daerah Aceh Barat Daya dalam kampanye Pilkada belum lama ini.

Padahal, sambung dia, menanam tanaman Jernang itu semestinya tidak perlu membabat pohon-pohonan atau membakarnya, karena tanaman jenis resin yang dihasilkan dari beberapa species rotan tersebut bisa tumbuh subur dalam hutan belantara.

"Untuk sementara ini petugas masih mengedepankan tindakan persuasif dulu. Polhut terus berupaya memberikan penyuluhan dan sosialisasi pada masyarakat. Jika warga tidak mendengarkan juga, kita langsung ambil tindakan tegas sesuai undang-undang berlaku," tegasnya.

Ia menegaskan, aksi perambahan hutan tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Sebab, jika hutan sudah rusak secara besar-besaran, bencana tanah lonsor dan kebanjiran akan datang melanda Kabupaten Aceh Barat Daya.

"Saya sangat berharap kepada Pemerintah Kabupaten untuk ikut andil dalam usaha pencegahan kerusakan hutan itu, sebab pelakunya rata-rata masyarakat Aceh Barat Daya," harapnya.

Pewarta: Anwar
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017