"Idealnya kalau inflasi terkendali, daya beli juga lebih bagus," kata Suhariyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.
Suhariyanto menjelaskan harga bahan makanan maupun tarif sektor jasa yang relatif terjaga bisa memancing minat masyarakat untuk berbelanja.
Untuk itu, kata dia, tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak berbelanja, dengan alasan harga-harga barang konsumsi tersebut mengalami kenaikan.
Menurut dia, masyarakat justru enggan menghabiskan dana untuk berbelanja apabila harga-harga tinggi akibat tergerus inflasi.
"Kalau pendapatan kita sama, tapi inflasinya tinggi, maka daya beli menjadi rendah. Karena uang Rp1.000 kalau dikali inflasi 10 persen, membuat kemampuan daya beli jauh lebih rendah," katanya.
BPS mencatat tingkat inflasi tahun kalender Januari-Juli 2017 tercatat mencapai 2,6 persen dan laju inflasi dari tahun ke tahun (yoy) sebesar 3,88 persen.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan belum terlihat ada perlambatan konsumsi karena penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masih tumbuh 13 persen.
Menurut dia, perlambatan yang sedang terjadi di sektor ritel masih bisa ditutup oleh kinerja sektor ekonomi lainnya yang membaik.
"Perlu dilihat komprehensif, jangan satu atau dua sektor yang spesifik, karena acuan (benchmark) tidak hanya sektor ritel saja, tapi keseluruhan sektor," ujar Suahasil.
Suahasil menjelaskan lesunya kinerja sektor ritel bukan berarti terjadi perlambatan konsumsi, namun karena masyarakat mulai beralih kepada transaksi berbasis jaringan.
Ia bahkan menilai kondisi perekonomian nasional saat ini dalam keadaan yang baik dan bisa tumbuh sesuai proyeksi yang tercantum dalam APBNP 2017 sebesar 5,2 persen.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017