• Beranda
  • Berita
  • Ketika "Anak Rantau" kehilangan romantisme kampung halaman

Ketika "Anak Rantau" kehilangan romantisme kampung halaman

4 Agustus 2017 11:11 WIB
Ketika "Anak Rantau" kehilangan romantisme kampung halaman
"Anak Rantau", tterbaru karya Ahmad Fuadi atau lebih dikenal dengan nama pena A. Fuadi. (ANTARA News/ Arindra Meodia)
Jakarta (ANTARA News) - Setelah absen empat tahun dari cerita fiksi, penulis Ahmad Fuadi kembali dengan falsafah hidup etnis Minang, "Alam terkembang jadi guru."

Kali ini penulis yang namanya melejit setelah menulis "Negeri 5 Menara" itu bercerita tentang Hepi, anak rantau berusia 15 tahun yang harus kembali ke kampung halaman untuk mendapat pendidikan yang lebih baik.

Namun kampung halaman ternyata tak sama indah dengan yang ada dalam bayangan ayah Hepi, yang mengirim anaknya ke kampung halaman.

"Anak Rantau ini agak berbeda dengan trilogi. Trilogi banyak terinspirasi dari apa yang saya alami lalu difiksikan, kalau ini bisa disebut pure fiction," kata penulis dengan nama pena A.Fuadi itu saat mengunjungi kantor ANTARA News di Jakarta.

"Yang berbeda lagi, 'Negeri 5 Menara' dan adik-adiknya umumnya dua tahun saya tulis, kalau ini empat tahun," sambung dia.

Ia lantas menuturkan bagaimana kisah itu terbangun.

Empat tahun lalu keindahan Danau el Como di Italia membuatnya teringat pada danau yang ada di kampung halamannya di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Ahmad Fuadi, yang ketika itu mendapat kesempatan tinggal sebulan di sebuah vila di tepi Danau el Como, semula ingin menjuduli ceritanya "Anak Danau". Namun pikirannya berubah saat dia kembali ke kampung halaman.

"Awalnya saya mau menulis tentang cerita romantisme kampung halaman, ternyata itu enggak kuat karena begitu saya riset lagi ke kampung saya yang sebenarnya, romantisme keindahan itu enggak ada lagi. Banyak masalah sekarang," katanya.

Danau di kampungnya sudah berubah karena polusi. Kondisi sosial lingkungan kampungnya juga sudah berubah. Masalah-masalah "kekinian" di perkotaan merembes ke perdesaan.

"Masyarakat yang dulu religius ternyata sudah tidak seperti itu lagi, anak muda yang dulu hebat ternyata kena narkoba," katanya.

Ia juga melihat fenomena sosial lainnya, tentang bagaimana orang seringkali menganggap referensinya yang paling benar dan menyalahkan yang lain, dan kemudian memicu konflik.

"Padahal semua alam ini, 360 derajat buat kita tarik pelajarannya. Alam terkembang jadi guru," katanya.

"Bagaimana kita menyikapi semua hal untuk belajar. Jadi, biar enggak one sided melihat semuanya. Bukalah semua wawasan kita, melihat ke segala arah untuk belajar," lanjut dia.

Dia juga melihat pembiaran. "Ada masalah dalam lingkungan kita yang kita biarkan," katanya.

Semua perubahan itu membuat pengerjaan "Anak Rantau" membutuhkan waktu lebih lama dari pendahulunya.

"Saya pulang, saya tata lagi. Ini konten utamanya enggak cukup dengan yang awal tadi, jadi lama pengembangan idenya," katanya.

Untuk menumbuhkan cerita, yang dia analogikan seperti biji tanaman -- yang kadang butuh waktu lama untuk tumbuh--, dia harus melakukan proses riset yang panjang.

Ia mewawancarai banyak orang, termasuk pejabat kepolisian dan Badan Narkotika Nasional karena "Anak Rantau" memuat materi edukasi anti-narkoba.


Pesan "kekinian"


Di "Anak Rantau", Ahmad Fuadi ingin menyampaikan pesan "Maafkan, maafkan, maafkan, lalu kalau bisa lupakan" sebagai bagian dari rekonsiliasi pribadi dan rekonsiliasi masyarakat.

"Kalau kita lihat sekarang banyak orang berantem enggak habis-habis, karena enggak pernah memaafkan. Kadang-kadang dimaafkan tapi enggak pernah dilupakan. Nanti datang lagi, heboh lagi," katanya.

"Anak Rantau" juga bercerita tentang bagaimana setiap orang menghadapi luka mereka. Bagaimana karakter Hepi menemukan dirinya di tengah masalah-masalah di kampungnya. Dia pun ikut mengobati luka-luka di kampungnya, luka kakeknya, luka orang tuanya.




Adaptasi film


Diterbitkan oleh Falcon Publishing membuat novel "Anak Rantau" tak jauh dari layar lebar.

Falcon Pictures sebelumnya telah mengadaptasi novel menjadi film, di antaranya "Edensor" (2013), buku ketiga dari Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan "Sabtu Bersama Bapak" (2016) karya Adhitya Mulya. Film "Dilan" yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq juga sedang dalam proses pengambilan gambar.

"Visi ke depan buku jadi film, cuma tentu saja untuk loncat ke film ada syarat-syaratnya, secara bisnis mungkin apakah cukup banyak dibaca orang, apakah ceritanya cukup kuat," ujar Ahmad Fuadi.

"Tapi memang visi awalnya, bahkan di kontrak disebut, kalau buku ini mungkin bisa jadi film, bagaimana kemudian itu terealisasi ya bagaimana Falcon," katanya.

Film yang diadaptasi dari novel "Negeri 5 Menara" karya Ahmad Fuadi yang terbit pada 2009 tayang di bioskop pada 1 Maret 2012.

Awalnya, alumnus pondok pesantren Gontor itu sempat khawatir dan tidak setuju novel yang mempopulerkan pepatah "Man Jadda Wajada"-nya itu difilmkan.

"Karena sebagai penulis saya kan memilih kata-katanya dengan hati-hati dan sepenuh hati. Saya kasih ke sutradara jadi apa nanti cerita saya, jadi ada kekhawatiran," katanya.

"Tapi, lama-lama saya berpikir kalau penulis itu niatnya menyampaikan pesan, enggak cukup di buku saja, harus pindah medium. Jadi, kemudian saya pikir ya sudah memang harus di film," tambah dia.

Sekarang dia tidak lagi khawatir pembaca protes karena visualisasi novel yang tidak sesuai ekspektasi. Dia menyadari bahwa pada dasarnya "setiap pembaca punya bioskop sendiri di kepalanya."

Oleh Arindra Meodia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017