"Perairan Papua sejak masa prasejarah hingga kini berperan dan berpengaruh dalam kehidupan manusia baik sebagai sumber mencari makanan, berlayar antarpulau dan berdagang antarpulau maupun aktivitas lainnya yang berkaitan dengan laut," katanya di Jayapura, Papua, Sabtu.
Menurut dia, selama ini di Papua belum pernah dilakukan penelitian arkeologi bawah air yang disebabkan oleh keterbatasan peralatan dan sumber daya manusia.
"Tentunya hal ini, berbeda dengan penelitian arkeologi di daratan. Penelitian arkeologi bawah air membutuhkan dana lebih besar untuk membeli peralatan, akses ke lokasi, serta tingkat kesulitan tinggi untuk penelitian arkeologi bawah air," katanya.
Lebih lanjut alumnus Universitas Udayana Bali ini menerangkan bahwa Papua memiliki potensi tinggalan arkeologi bawah air diantaranya kapal perang maupun pesawat terbang peninggalan Perang Perang Pasifik yang terdapat di perairan Papua dan Papua Barat.
"Kapal peninggalan Perang Pasifik milik Amerika, The Junkyard terdapat di perairan Pulau Amsterdam. Kapal Jepang, Shikwa maru di perairan Manokwari. Pesawat tempur Zero di perairan Pulau Rippon, Wandamen. Pesawat Amerika P47-D Razorback di Pulau Wai, Raja Ampat," katanya mencontohkan.
Untuk itu, kata dia, Pemerintah Indonesia perlu meratifikasi Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air.
"Dalam konvensi ini mengatur tentang perlindungan warisan budaya bawah air untuk kepentingan umat manusia sekaligus mencegah eksploitasi secara komersial. Dengan meratifikasi konvesi UNESCO, pemerintah Indonesia otomatis harus menyediakan dana untuk penelitian dan perlindungan tinggalan arkeologi bawah air," katanya.
(T.KR-ARG/A058)
Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017