Jakarta (ANTARA News) - Perempuan yang tak menikah dikatakan lebih berisiko terkena kanker ovarium dibandingkan perempuan yang menikah dan memiliki anak, demikian disampaikan dr. Toto Imam Soeparmono, SPoG, K. Onk, konsultan kanker kandungan di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD), Jakarta.
Toto memaparkan, setiap perempuan memiliki dua indung telur yang setiap bulannya memproduksi telur secara bergantian. Adapun telur diproduksi dengan cara pecahnya permukaan indung telur, yang menimbulkan luka.
"Jadi, pecahnya itukan suatu luka, luka kemudian sembuh. Lalu luka lagi, sembuh lagi. Nah, pada nona, indung telur ini terus menerus memproduksi telur, terus menerus luka dan tidak pernah istirahat. Nanti, lama-lama ada jaringan yang luka atau rusak, tapi tidak kembali ke normal. itu yang dikatakan risiko menjadi sel yang rusak tapi tetap hidup dalam keadaan rusak," kata Toto kepada ANTARA News di Jakarta.
Sel yang rusak namun tetap hidup, lanjut Toto, berisiko melakukan mutasi dan mutasi hingga terbentuk jaringan kanker.
Sedangkan, saat perempuan hamil, proses pecahnya indung telur akan berhenti, sehingga proses pelukaan tadi hilang hingga perempuan tersebut menyusui anaknya selama dua tahun.
Sehngga, tambah Toto, indung telur dapat beristirahat selama kurang lebih dua tahun.
Kendati demikian, faktor risiko tersebut dapat diminimalisir dengan berbagai cara, di antaranya menjaga pola hidup sehat dan makan-makanan yang bergizi, sehingga daya tahan tubuh dapat terjaga baik.
"Mutasi itukan tidak semua orang mengalami mutasi menjadi kanker. Kalau di dalam badannya itu, proses menjadi kanker itu di stop, karena daya tahan tubuhnya bagus, tidak akan kena kanker. Daya tahan tubuh itu kan bisa diperkuat sendiri. Dengan catatan, hal-hal yang mendorong menjadi kanker jangan ada," ujar Toto.
Menurut Toto, semakin sering membeli makanan atau jajanan di luar rumah, maka risiko kanker akan semakin tinggi, karena banyaknya zat berbahaya yang kerap digunakan untuk mengolah makanan tersebut.
"Kalau membeli makanan di luar, misalnya bakso, disitu bisa jadi banyak bahan kimia yang digunakan, mulai dari boraks, terus penggunaan zat warna pada saosnya, lalu juga micin. Semua bahan kimia itu bisa memicu kanker," kata Toto di Jakarta, Sabtu.
Toto menyampaikan, kanker kemungkinan tidak langsung muncul, namun ketika seseorang berusia 50 tahun ke atas, atau saat kondisi daya tahan tubuhnya semakin lemah, maka kanker baru terdeteksi.
Toto menambahkan, senyawa kimia yang masuk ke dalam perut melalui makanan menjadi salah satu faktor lingkungan yang risiko paling tinggi seseorang terkena kanker.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017