Percakapan dengan Anhar Gonggong

23 Agustus 2017 11:35 WIB
Percakapan dengan Anhar Gonggong
Sejarawan Anhar Gonggong (arsip 2009) (ANTARAFOTO / Prasetyo Utomo)
Dalam usianya yang menginjak 74 tahun, sejarawan Anhar Gongong tampak sehat, ceria, dan bersemangat berkisah tentang pengalaman pribadinya di masa lalu, juga bergairah menuturkan analisisnya tentang situasi masa kini.

Sejarawan selalu punya bahan untuk mengukur kualitas pemimpin dalam rentang perjalanan bangsa. Pengetahuannya tentang orang-orang besar di masa silam menjadi peranti pengetahuan pembanding.

Bagi sejarawan yang memperdalam ilmunya di Universitas Leiden, Belanda itu, pemimpin bangsa yang pemikir sekaligus penulis saat ini boleh dibilang sudah sangat langka kalau bukan tidak ada.

Banyaknya para petinggi penyelenggara negara, politisi yang terjerat korupsi yang menjadi fenomena mutakhir membuat pria kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan, itu berkesimpulan bahwa saat ini tidak ada lagi pemimpin.

Pemimpin yang intelektual, yang membaca, apalagi sekelas Mohammad Hatta yang bukan saja pakar ekonomi tapi juga menyelami pengetahuan filsafat boleh dikata sulit ditemukan saat ini.

Pemimpin yang lahir di era pascareformasi yang mendekati ideal Anhar, yakni pemimpin yang visioner, pemikir dan penulis hanyalah Gus Dur.

Anhar menyadari bahwa semangat zaman yang berbeda melahirkan tipe pemimpin yang berbeda pula. Namun, ketika menyangkut etika, integritas, ktiteria untuk menilai seorang pemimpin tak bisa dikompromikan dengan semangat zaman.

Menyaksikan banyaknya politisi yang terjerat skandal korupsi saat ini, Anhar yang menjadi pejabat di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Direktur Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional di era Menteri Wardiman Djojonegoro itu masih punya optimisme terhadap generasi mendatang, dengan catatan dunia pendidikan terkelola dengan benar.

Sayangnya, katanya, persoalan pendidikan di Tanah Air belum tertangani secara membesarkan hati apalagi memuaskan. Cara sederhana untuk menyelenggarakan sistem pendidikan yang bermutu bisa dilakukan dengan mengadopsi sistem pendidikan terbaik di dunia, misalnya merujuk ke Finlandia, lalu dilakukan beberapa penyesuaian untuk konteks Indonesia.

Meskipun studi banding ke negara-negara Skandinavia pernah dilakukan, hasilnya tak maksimal karena banyaknya kepentingan yang terlibat dalam praksis pendidikan.

Pendidikan adalah faktor penyelamat generasi mendatang. Mau melahirkan pemimpin yang tak korup, warga yang demokratis bisa dibangun lewat pendidikan.

Prihatin

Anhar prihatin menyaksikan kualitas warga dalam praktik berdemokrasi yang diejahwantakan dalam unjuk rasa. Contoh mutakhir adalah demo yang digelar di sekitar tempat berlangsungnya sebuah kasus hukum disidangkan.

Pengerahan massa di saat perkara hukum disidangkan jelas tak memberikan ruang kemerdekaan bagi hakim untuk mengambil keputusan tanpa dihantui perasaan tertekan atau terintimidasi. Hal-hal seperti ini bisa diselesaikan di bangku pendidikan.

Menguatnya politik identitas yang menggejala dalam wajah perpolitikan di Tanah Air belakangan ini juga dipandang Anhar sebagai persoalan yang perlu segera diatasi, terutama oleh kalangan politisi.

Dalam konteks historis, politik identitas kesukuan itu pernah berjangkit di daerah-daerah akibat perasaan orang daerah yang dianaktirikan oleh pemerintah pusat. Pembangunan hanya dilakukan di pusat sementara daerah ditinggalkan. Dalam situasi demikian, tak terelakkan lah terjadinya pergolakan untuk memisahkan diri dari pusat.

Sebagai intelektual yang peduli dengan kebenaran historis, Anhar tak bisa diam ketika ada upaya yang mencoba menetapkan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1945 dengan merujuk pada tanggal pidato Soekarno di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan.

Penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, menurut Anhar, oke-oke saja. Namun itu harus dimaknai sebagai Pancasila yang masih merupakan sebuah konsep dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara yang susunannya tertera sebagaimana di Konstitusi, mau tak mau harus diakui baru lahir pada 18 Agustus 1945.

Selain memperlihatkan kepeduliannya pada akurasi momen-momen sejarah yang tak boleh dimain-mainkan, Anhar juga menekankan pentingnya memiliki pemahaman alias persepsi yang benar tentang makna dalam diskursus perpolitikan. Sebagai contoh, sampai sekarang banyak orang yang tak paham tentang makna kiri, yang diberi konotasi atau stigma negatif.

Mereka yang antikemapanan di zaman revolusi menentang kolonialisme adalah orang-orang kiri. Hatta, Soekarno, dalam pemaknaan itu, adalah kaum kiri. Mereka yang berideologi sosialis, yang diperhadapkan dengan kapitalis, adalah kaum yang mengimpikan kesejahteraan untuk rakyat.

Sisa-sisa cara berpikir dalam paradigma Orde Baru yang memberi cap negatif pada gerakan yang berideologi sosialis atau kiri agaknya masih diidap banyak orang saat ini.

Ada satu frasa dalam narasi kenegaraan yang sampai sekarang dirasakan sebagai misteri bagi Anhar, yang mendapat tempaan intelektual dari sejarawan terkemuka sekaligus pembimbing mahasiswa yang killer Sartono Kartodirdjo itu.

Frasa itu adalah "masyarakat yang adil dan makmur", yang menjadi cita-cita bangsa sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945.

Anhar merasa belum ada rumusan yang memuaskan dalam menjelaskan apa arti frasa itu.

Frasa yang dirasakan sebagai enigma oleh Anhar itu telah berulang kali dijadikan bahan kajian sejumlah mahasiswa dengan berusaha menemukan rujukan di negara-negara yang pantas disebut mencapai tahap adil dan makmur.

Salah satu di antaranya mengajukan proposisi bahwa negara yang mencapai kemakmuran (tentu saja secara material) dan diikuti oleh tingkat kemakmuran para warganya seperti Kanada adalah refleksi negara yang adil dan makmur. Jika rumusan itu diajukan kepada Anhar, sangat mungkin dia akan bertanya: benarkah kemakmuran itu juga diikuti keadilan?

Tampaknya, justru perkara keadilan itulah yang lebih sulit untuk diuraikan, apalagi diwujudkan.

Oleh M Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017