Pernyataan itu disampaikan oleh Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian dan Pakar Pencemaran Laut (Marine Pollution), Zainal Arifin seusai diskusi kajian sumber seismik Samudera Hindia di pusat kebudayaan Kedutaan Besar Prancis, Institut Francais Indonesia (IFI) di Jakarta, Minggu.
"Konsorsium Riset Samudera rencananya diluncurkan Selasa (26/9) di Jakarta, dihadiri sejumlah penggeraknya, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), juga tiga universitas, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Sriwijaya (Unsri)," kata Zainal.
"Tujuan utama pembentukan konsorsium tersebut, pemerintah ingin mengatur agar program dan infrastruktur riset dijalankan secara sinergis, efektif, dan efisien. Jadi, semua perguruan tinggi dan lembaga riset ini tidak berjalan terpisah. Konsorsium itu juga akan membahas soal pendanaan, nanti bagaimana sejumlah pemangku kepentingan, misalnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian Koordinator (Kemenko) Maritim dapat turut diajak untuk menyediakan pendanaan untuk program riset, khususnya di bidang kelautan," tambahnya.
Dana terbatas
Saat ini, menurut Zainal, pendanaan program riset di Indonesia, khususnya di bidang kelautan masih cukup sulit dan terbatas. Alhasil, salah satu jalan tercepat bagi para peneliti untuk menjalankan risetnya adalah berkolaborasi dengan peneliti antarbangsa.
"Ekspedisi MIRAGE (Marine Investigation of the Rupture Anatomy of the 2012 Great Earthquake) merupakan salah satu strategi kami (LIPI) memanfaatkan jaringan peneliti antarbangsa yang juga tertarik mendalami potensi bencana gempa di Samudera Hindia," kata Zainal.
"Kami harus berkolaborasi karena biaya untuk ekspedisi MIRAGE ini per harinya menghabiskan dana sekitar 50 ribu Euro. Sementara, waktu penelitian berjalan sekitar 30 hari, jadi total biaya yang dikeluarkan sekitar 1,5 juta Euro atau senilai Rp23,8 miliar," tambahnya.
Meski demikian, Zainal menjelaskan, bagi Prancis, mitra utama ekspedisi MIRAGE, dana itu tidak menjadi hambatan. Pasalnya, pemerintah dan sektor swasta di negara itu sangat mendukung program penelitian di Samudera Hindia.
Pernyataan itu dijelaskan lebih lanjut oleh Atase Kerja Sama Ilmiah dan Teknologi Kedutaan Besar Prancis, Nicolas Gascoin seuai diskusi tersebut.
"Pemerintah Prancis sangat mendukung program riset yang dilakukan para peneliti Indonesia, khususnya di sejumlah isu penting, seperti penanggulangan bencana alam, karena ketika berbicara mengenai ilmu pengetahuan, kita juga harus memahami dampak kemajuan itu terhadap alam dan masyarakat," kata Nicolas.
Atase Prancis menjelaskan, program Ekspedisi MIRAGE memiliki peranan penting untuk membuktikan komitmen negaranya membangun kemitraan dengan Indonesia, khususnya dalam bidang kelautan dan pencegahan bencana.
"Kedatangan kapal riset Marion Dufresne (untuk ekspedisi MIRAGE) ke Indonesia adalah bukti nyata kuatnya kerja sama maritim Indonesia dan Prancis, terutama di bidang mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami, bidang yang esensial bagi Indonesia yang merupakan negara bahari. Kedatangan kapal ini juga merupakan tindak lanjut dari kedatangan (mantan presiden) Francois Hollande ke Indonesia bulan Maret lalu, khususya terkait penandatanganan Surat Pernyataan Minat (LoI) di bidang maritim dan kelautan," ujar Nicolas menjelaskan.
"Tentunya di samping kerja sama di bidang mitigasi bencana, ada banyak kemitraan lain yang Indonesia dan Prancis tengah lakukan. Misalnya saja, di bidang kartografi (pembuatan peta) laut dalam, pengawasan, deteksi dan pemetaan. Para peneliti kedua negara dapat mengumpulkan informasi yang banyak mengenai kekayaan dalam laut, seperti keberadaan karang laut, ikan, dan hasil riset juga dapat menjadi landasan pencegahan tangkap ikan ilegal, ataupun pengawasan terhadap kebocoran minyak di lepas pantai. Acara ini, sebenarnya, merupakan salah satu komitmen kedua negara untuk saling bekerja sama di bidang maritim," tambahnya.
Pernyataan yang sama kembali ditegaskan oleh Duta Besar Prancis untuk Indonesia Jean-Charles Berthonnet saat memberi sambutan di atas Kapal Riset Marion Dufresne.
"Ekspedisi MIRAGE merupakan program yang unik, karena tidak hanya menjadi simbol persahabatan bagi Indonesia dan Prancis, tetapi juga bukti bahwa kedua negara serius mengembangkan kerja sama di bidang kelautan," kata Berthonnet.
Dalam ekspedisi MIRAGE 2, sejumlah akademisi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut de Physique du Globe de Paris (IPGP), Institut Polaire Francais Paul-Emile Victor (IPEV) Prancis, Earth Observatory of Singapore (EOS), dan Nanyang Technological University (NTU) Singapura, akan berlayar selama 30 hari di atas Kapal riset terbesar dunia milik pemerintah Prancis, R/V Marion Dufresne untuk mempelajari struktur dasar di Samudera Hindia, khususnya setelah mengalami gempa hebat berkekuatan 8,3 SR pada 2012.
Ekspedisi kedua MIRAGE tahun ini difokuskan untuk mengambil dan mempelajari data seismik, guna mengetahui struktur dasar dan retakan atau kerak di Samudera Hindia. Sementara ekspedisi MIRAGE pertama yang dijalankan pada 2016 telah menunjukkan, di dasar Samudera Hindia ada sejumlah struktur patahan aktif yang belum pernah ditemukan sebelumnya.
"Penelitian pada ekspedisi tahun lalu telah menemukan ada sungai bawah laut di kedalaman 3.500-4.800 meter, dan gunung bawah laut yang terpotong di arah barat laut-tenggara samudera," kata LIPI dalam keterangan tertulisnya.
Pewarta: Genta TM
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017