Jalur Sutra edisi baru ini pada mulanya dipasarkan dengan nama inisiatif "One Belt and One Road" sebelum dalam beberapa saat terakhir berganti nama menjadi Inisiatif "Belt and Road" atau BRI.
Digagas oleh Presiden Xi Jinping pada 2013, BRI menawarkan sebuah upaya untuk memperluas peluang bagi pembangunan dan kesejahteraan bersama melalui kerja sama yang saling menguntungkan.
Dari Provinsi Xian, tuan rumah ribuan prajurit terracotta kaisar pertama China, hingga Eropa, inisiatif "One Belt" menembus negara-negara Asia Tengah yang lazimnya terasosiasi dengan Rusia.
Dari pelabuhan-pelabuhan utama China di Guandong, kapal-kapal negeri Tirai Bambu itu menyusuri garis pantai untuk mencapai Eropa, dalam sebuah inisiatif "One Road" yang juga melibatkan sejumlah pelabuhan Indonesia.
Lebih dari Fisik
Sekalipun sejak tercetus pada 2013, BRI lebih sering dikaitkan dengan pembangunan fisik, misalkan pembangunan serentak sejumlah jalur kereta yang menghubungkan Beijing dengan negara-negara di Asia Tenggara dan Selatan, pembangunan pipa yang akan melintasi negara-negara di Asia Tengah, dan pelabuhan-pelabuhan di jalur laut.
Namun BRI tidak semata hal yang kasat mata.
Kedekatan dalam hubungan ekonomi mau tidak mau akan menciptakan kedekatan dalam hubungan sosial, budaya dan bahkan politik saat warga dari kedua negara lebih sering bertemu dan bertukar pikiran.
Dan teman atau sekutu adalah salah satu syarat untuk tumbuh besar atau sekadar bertahan mengatasi segala tantangan, mulai dari perubahan iklim hingga ancaman nuklir. Sejarah punya catatan panjang tentang hal itu.
Rute laut dan darat Jalur Sutra baru tersebut diharapkan akan menjadi salah satu kerangka kerja sama ekonomi besar di dunia, bahkan mungkin yang terbesar, yang mempromosikan kolaborasi yang luas di beragam sektor dari berbagai suku bangsa.
Namun tidak sedikit negara yang masih meragukan niat China untuk menghidupkan rute perdagangan masa lampau itu, salah satunya negara-negara di kawasan Asia Tenggara di mana Jepang dan Amerika Serikat juga memiliki pengaruh kuat.
Pendekatan mendadak pemerintah, partai komunis dan perusahaan-perusahaan China acapkali menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan Asia Tenggara menjadi arena pertempuran kekuatan-kekuatan besar.
Dan pemerintah China kiranya menyadari bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah menghapus kecurigaan. Itulah sebabnya sebuah pendekatan "soft power" untuk mengubah persepsi beberapa negara tentang upaya besar China guna menghidupkan romantika lama bernama Jalur Sutra digelar beberapa kali. Salah satunya adalah temu media di sepanjang rute itu.
Salah satu harian besar China, Peoples Daily, dan Partai Komunis China, mengundang sedikitnya 265 editor senior dari 126 negara untuk duduk bersama dalam "Media Cooperation Forum on Belt and Road 2017" di Dunhuang, salah satu kota yang menjadi saksi bisu sejarah panjang Jalur Sutra, pada 19 September 2017.
Presiden harian Peoples Daily Yang Zhenwu selaku penyelenggara forum tersebut dalam pidatonya memberikan jaminan bahwa "Belt and Road Initiative" akan menciptakan konsep baru untuk pemerintahan global, memperluas ruang untuk kerja sama internasional dan menciptakan model dimana masyarakat yang beragam dapat belajar satu sama lain.
Menurut dia, Peoples Daily telah menggelar forum tersebut sejak 2014 guna menghapus penghalang emosional dan memperluas "jaringan teman" dan membentuk lingkaran konsentris budaya.
Pavel Negoitsa, Direktur Umum dari Rossiyskaya Gazeta, Rusia, yang merupakan satu dari 25 pembicara dalam forum tersebut juga menggarisbawahi inisiatif tersebut sebagai sebuah peluang untuk menciptakan model kerja sama baru.
Sementara itu Stephen Rae, Pemimpin Redaksi Grup Independent New Media (INM) Irlandia, menilai inisiatif dan forum tersebut akan memberikan dampak positif bagi dunia, terutama terkait hubungan timur dan barat. Ia menyinggung tentang peran besar yang dimainkan media untuk menyebarkan informasi, termasuk persepsinya tentang inisiatif itu.
Saling Memahami
Hampir seluruh pembicara yang berasal dari media, pejabat pemerintah atau pengusaha dalam forum tersebut bisa dikatakan mendukung kemunculan BRI dan memuji mimpi menciptakan keterhubungan raksasa, tapi apakah hal itu serta merta menghapus prasangka, media pada khususnya dan sebagian negara, pada China?
Mungkin jawabnya tidak seoptimal yang diharapkan, jika merujuk pada hasil pertemuan antara sejumlah editor dari media di Asia Tenggara dan Asia Selatan dengan para pejabat partai komunis. Sebuah dialog yang menurut partai berkuasa tersebut digelar untuk menghapus persepsi negatif tentang negara itu.
Sebagai salah satu negara pemain kunci dalam isu-isu besar seperti Laut China Selatan, Korea Utara dan Myanmar, banyak dari awak media yang berharap dapat menjadi saksi perubahan sikap China setelah upaya besar-besarannya merangkul negara-negara di sepanjang Jalur Sutra melalui BRI.
Tapi dialog berulang dengan para pejabat itu menunjukkan bahwa harapan itu masih sekedar harapan.
Terutama dalam kasus Laut China Selatan, salah satu kasus yang menjadi perhatian dunia internasional, dan kebetulan akan menjadi bagian dari mimpi mewujudkan kembali rute laut Jalur Sutra.
Bagi beberapa wartawan yang berasal dari negara dengan sejarah sengketa klaim yang cukup vokal bisa jadi hal itu menghapus pengalaman indah atas keramahan warga China yang mereka temui dalam perjalanan panjang selama hampir dua minggu itu.
Seorang wartawan dalam forum tersebut secara terbuka mengutip peribahasa bahwa "siapa yang mampu menguasai hati publik, dialah yang akan memimpin", saat diminta memberi masukan pada partai komunis guna menghilangkan persepsi negatif atas China.
China mungkin betul tidak ingin memimpin dunia namun ingin bekerja sama dengan dunia, sebagaimana pernyataan salah satu pejabatnya dalam pertemuan di ujung perjalanan panjang itu, namun sebuah kerja sama yang sukses juga membutuhkan sikap saling memahami.
Jalur Sutra milenia disebut oleh sejumlah pemimpi negara yang menghadiri konferensi tingkat tinggi BRI pada Mei lalu sebagai sebuah sikap positif di tengah tren proteksionisme yang didengungkan beberapa negara.
Dialog antarindividu kali ini mungkin adalah salah satu langkah awal bagi semua pihak untuk belajar mendengar dan memahami. Karena satu yang perlu diingat bahkan di masa lalu rute di sepanjang Jalur Sutra tak selalu damai, dinasti, suku dan etnis, saling bertempur untuk menuai keuntungan terbesar dari jalur perdagangan tersebut.
Dan tentunya bukan itu yang diinginkan dalam sekuel kali ini.
Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017