Catherine, Svetlana, dan Pancasila

30 September 2017 08:02 WIB
Catherine, Svetlana, dan Pancasila
Petugas membersihkan pelataran Monumen Pancasila Sakti, di Jakarta Timur, Senin (26/9/2016).(ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
Jakarta (ANTARA News) - Di tengah polemik dan kontroversi mengenai kebangkitan komunisme atau Partai Komunis Indonesia (PKI), persahabatan Catherine Pandjaitan dan Svetlana Dayani patut dikemukakan kembali untuk menggambarkan betapa luka masa kelam sejarah bangsa tahun 1965 tak perlu dipolitisasi.

Catherine dan Svetlana merupakan bagian dari orang-orang yang mengalami masa kelam itu.

Catherine, putri sulung Mayor Jenderal Anumerta Donald Issac Pandjaitan, harus menjadi yatim pada usia 17 tahun karena ayahnya ditembak mati oleh sekumpulan tentara pro-PKI pada Jumat dini hari 1 Oktober 1965. Ia histeris menyaksikan ayahnya dibunuh di depan rumahnya saat dibawa paksa oleh sekelompok tentara.

Svetlana, putri bungsu pasangan mantan Menteri Negara/Wakil Ketua Committee Central PKI Njoto dan RA Sutarni, juga menjadi yatim pada usia sembilan tahun karena ayahnya dieksekusi tentara dalam penumpasan PKI dan ibunya yang berasal dari keluarga ningrat kerabat Keraton Mangkunegaran dipenjara.

Seiring perjalanan waktu, kedua perempuan itu menjadi "kakak-beradik" dalam keluarga yang sama-sama mengalami tragedi 1965.

Keduanya pernah hadir sebagai peserta dan memberikan kesaksian pada "Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Komnas HAM, dan Wantimpres di Jakarta 18-19 April 2016.

Svetlana menceritakan bahwa Catherine sudah dia anggap sebagai kakak sendiri karena sangat memperhatikan dan mengurus dia. Ia mengatakan bahwa orang lain yang melihat persahabatan mereka pasti heran.

Selama berpuluh tahun Svetlana hidup dalam ketakutan, menyembunyikan identitas karena takut terjadi sesuatu yang buruk kepada orang yang telah berbaik hati menampungnya.

Svetlana, yang tak tahu di mana jenazah ayahnya dimakamkan, menceritakan bahwa ia pernah sekali menginap satu malam di rumah pamannya, dan sejak itu pamannya ditahan berbulan-bulan karena menampung dia.

Geraknya terbatas. Ia tidak dapat melakukan hal yang dia inginkan karena takut identitasnya terbongkar.

Setelah 50 tahun lebih berlalu, Svetlana kadang masih merasa bahwa saat dia bertemu dengan teman-teman senasib ada pihak yang mengira mereka mau menghidupkan kembali komunis.

Catherine pun tak pernah melupakan peristiwa yang merenggut nyawa ayahnya, meski telah memaafkan orang yang dengan keji membunuh sang ayah.

Dia menyaksikan sang ayah dijemput paksa segerombolan orang berseragam hijau. Dari lantai dua rumah mereka di Blok M, Jakarta, dia bersama adiknya menyaksikan orang-orang tersebut menyuruh ayahnya hormat, tetapi DI Pandjaitan menolak, malah mengangkat tangan seraya berdoa.

Mungkin mereka marah dan langsung menembak kepala ayahnya. Otaknya berceceran. Catherine berlari ke lantai bawah tetapi ayahnya sudah tidak ada, dibawa pergi. Catherine hanya melihat darah membentuk garis memanjang ke luar rumah seperti bekas seretan.

Ayahnya tewas dibantai, begitu pula dengan sembilan orang lain yang kemudian dikenal sebagai 10 pahlawan revolusi.

Mereka antara lain adalah Jenderal (anumerta) Ahmad Yani yang saat terakhir hidupnya menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letjen (anumerta) Suprapto, Letjen (anumerta) MT Haryono, Letjen (anumerta) Siswondo Parman, Mayjen (anumerta) DI Panjaitan, dan Mayjen (anumerta) Sutoyo Siswomiharjo.

Selain itu ada Ajun Inspektur Polisi II (anumerta) Karel Satsuit Tubun, Brigjen (anumerta) Katamso Darmokusumo, Kolonel (anumerta) Sugiono, dan Kapten CZI (anumerta) Pierre Tendean--ajudan yang mengaku sebagai Jenderal Abdul Haris Nasution demi menyelamatkan Nasution, yang saat itu Menteri Pertahanan dan Keamanan, dari aksi penculikan di rumahnya.
 
Meski tak melupakan kejadian itu, Catherine menyadari bahwa ada orang yang hidupnya lebih menyakitkan dibanding dirinya.

Setidaknya dia tidak perlu sembunyi-sembunyi seperti mereka yang pernah dicap PKI. Catherine langsung memeluk mereka satu persatu dan meminta maaf saat dipertemukan dalam sebuah acara di stasiun televisi.

Catherine mengatakan sudah saatnya semua pihak saling memaafkan dan tidak menyimpan dendam dan tidak mewariskan dendam kepada anak cucu.

Persahabatan Catherine dengan Svetlana bisa menjadi inspirasi bangsa ini untuk menyongsong masa depan tanpa bayang dendam.

Namun pengalaman masa lalu yang sangat buruk semestinya menjadi pelajaran sangat berharga untuk kehidupan bangsa yang lebih baik dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.


Saya Pancasila

Pemerintahan Presiden Joko Widodo berupaya keras membumikan Pancasila. MPR RI pun melakukan sosialisasi tanpa henti mengenai empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan RI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Penyadaran kembali mengenai nilai-nilai kebangsaan berdasarkan Pancasila begitu giat dilakukan kepada masyarakat.

Bahkan untuk pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia, peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni tahun ini ditetapkan pemerintah sebagai hari libur nasional berdasarkan Keputusan Presiden Joko Widodo Nomor 24 Tahun 2016.

Peringatan ini berlatar belakang rapat para pendiri bangsa dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Gedung Chuo Sangi In, Jakarta, yang pada masa kolonial Belanda merupakan Gedung Volksraad dan sekarang dikenal sebagai Gedung Pancasila.

Dalam rapat BPUPKI pada 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidato mengenai lima dasar negara yang dia sebut dengan nama Pancasila.

Selain memperingati Hari Lahir Pancasila, bangsa ini setiap tahun juga memperingati Hari Kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober sejak tahun 1965.

Namun sesungguhnya Kesaktian Pancasila itu untuk siapa?

Pancasila selain menjadi ideologi dan dasar negara juga menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pancasila, yang lahir dari akar sejarah budaya bangsa, mengandung nilai-nilai luhur universal yang menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia yakni Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Tetapi apakah Pancasila telah benar-benar diamalkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia?

Dalam sebuah negara yang berlandaskan Pancasila mengapa masih terjadi radikalisme dan ekstremisme serta ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila?

Mengapa di negara yang berasaskan Pancasila praktik korupsi justru marak, ketidakadilan merebak, pembunuhan sadis dan di luar nalar terjadi, masyarakatnya mudah diadu domba, dan ada pengingkaran terhadap Ketuhanan dan nilai-nilai agama?

Memperingati Hari Kesaktian Pancasila tidak sepenting mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehari-hari. Karena pengamalan ini lah yang akan menjaga nilai-nilai luhur Pancasila tetap ada, tidak luntur.

Revitalisasi nilai-nilai Pancasila hanya bisa terjadi jika ada aktualisasi nilai-nilai Pancasila oleh segenap masyarakat bangsa ini.

Sudah saatnya Pancasila kembali direvitalisasi sebagai dasar falsafah negara dan menjadi prinsipa prima bersama norma agama. Sebagai prinsipa prima maka nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama merupakan dasar untuk seluruh masyarakat Indonesia berbuat baik.

Penting bagi bangsa Indonesia untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Saya, Anda, dan kita semua Pancasila untuk Indonesia. Selalu dan selamanya.


Oleh Budi Setiawanto
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017