Jakarta (ANTARA News) - Surya Sahetapy, putra ketiga dari aktor Ray Sahetapy dan penyanyi Dewi Yull itu tak bisa mendengar, tetapi itu bukan penghalang mendulang prestasi.
Tahun lalu, pemilik nama lengkap Panji Surya Putra Sahetapy menjadi delegasi tuli dari Indonesia dan berkunjung ke markas besar Perserikatan Bangsa Bangsa di AS. Pria yang sempat magang di kantor gubernur DKI Jakarta itu juga menyambangi NASA dan bertemu dengan 15 orang tuli yang bekerja di sana.
Surya juga dipercaya mewakili Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Indonesia dalam Global IT for Youth with Disabilities di Bangkok, Thailand pada 2013 dan pernah bertemu dengan Ratu Elizabeth II serta Prince Philip, Duke of Edinburgh mewakili penyandang tuna rungu dari Indonesia.
Sejak empat tahun belakangan, cowok kelahiran 21 Desember 1993 itu mulai getol mempromosikan bahasa isyarat yang penting bagi penyandang disabilitas tuli.
Dibantu juru bicara isyarat Silva Tenrisara Isma, ANTARA News berbincang dengan Surya mengenai bedanya istilah tunarungu dengan tuli, bahasa isyarat yang membuat awet muda, kegiatannya sebagai aktivis tuli hingga cita-citanya jadi staf presiden.
Sejak kapan memutuskan jadi aktivis tuli?
Waktu tahun 2013 saya masuk ke dalam organisasi tuli. Saya aktif di kegiatan tentang bahasa isyarat. Sebelumnya saya mengidentifikasi diri saya sebagai tuna rungu karena, misalnya, saya itu bisa bicara, tapi sebenarnya saya merasa tertekan.
Saya melihat ada orangtua marah sama anak tuli karena enggak bisa bicara walau sudah dilatih. Saya mulai tergugah dan sedih. Kenapa ya, kalau anak tuli enggak bisa bicara (sebenarnya) bukan masalah, ada cara lain (untuk berkomunikasi).
Lalu saya cari referensi, bertukar pikiran sama teman-teman yang lain karena waktu itu bahasa isyarat dipandang sebagai sesuatu yang negatif.
Orangtua memandang bahasa isyarat bisa mengganggu perkembangan bicara anaknya. Setelah diskusi, bahasa isyarat justru bermanfaat untuk membantu anak-anak agar bisa menulis dan membaca, justru lebih berperan untuk menulis dan membaca.
Ternyata pandangan negatif bahasa isyarat itu mitos aja. Akhirnya saya memutuskan untuk mulai promosi bahasa isyarat, untuk mengajak teman-teman lain memahami dunia kami. Dan mengedukasi orang lain bagaimana caranya berkomunikasi seperti kami dan bagaimana caranya saling memahami.
Saya juga berjuang agar film menyediakan teks dalam bahasa Indonesia sebab banyak teman-teman tuli menonton film luar negeri karena ada teks. Kalau film Indonesia tidak ditonton karena tidak ada teks. Jadi kalau mau teman-teman tuli cinta film Indonesia, harus didukung dengan menyediakan teks.
Selama empat tahun saya sudah aktif memperjuangkan hak-hak itu. Masih berproses supaya pandangan-pandangan negatif itu berubah.
Saya terlibat di film pertama yang pakai teks untuk menyadarkan masyarakat tentang adanya orang tuli dan pentingnya teks itu.
Surya terlibat dalam film "Sebuah Lagu Untuk Tuhan" yang tayang pada 2015. Film itu berkisah tentang persahabatan musisi dengan gadis tuli. Film tersebut ditayangkan lengkap dengan teks bahasa Indonesia agar bisa dinikmati oleh penyandang tuli. Surya juga pernah berakting dalam film "Aisyah Biarkan Kami Bersaudara" yang dibintangi Laudya Cynthia Bella. Surya juga terlibat dalam film horor terbaru karya Joko Anwar "Pengabdi Setan".
Mau main film lagi?
Kalau disuruh pilih antara film dengan bekerja di pemerintahan, saya pilih bekerja di pemerintahan.
Ayahmu seorang aktor. Apakah itu mempermudah usahamu agar membuat film Indonesia menyertakan teks?
Oh, tidak. Ayah saya juga membantu diskusi, produser film selalu menuntut pemerintah menyediakan itu, tetap ada perdebatan dan butuh proses penjang karena ada hubungan sama anggaran. Tapi saya berharap dalam waktu dekat sudah ada penyediaan akses teks.
Yang paling penting Presiden Jokowi sudah menyadari pentingnya kebutuhan isyarat, saya juga menyampaikan kebutuhan teks di dalam vlog (Jokowi). Siapa tahu diteladani orang lain soal penyediaan teks itu. Padahal saya enggak minta masuk vlog tapi beliau yang mengajak, saya merasa sangat terhormat.
Sekarang ada beberapa taksi online yang mempekerjakan supir dengan gangguan pendengaran. Menurut kamu bagaimana kesempatan kerja untuk orang tuli di Indonesia?
Sekarang teknologi itu membantu, mulai ada orang tuli yang bekerja di Uber atau Grab. Tapi masih tetap kerja keras, karena bosnya mungkin masih ada yang khawatir bekerjasama dengan orang disabilitas. Saya berharap mulai saat ini kita aktif mengedukasi perusahaan untuk menerima orang disabilitas karena pada dasarnya kemampuan kita sama tapi kebutuhannya yang berbeda.
Ada perusahaan yang menerima ada yang belum, tentu saja cita-cita ideal semua perusahaan bisa menerima orang disabilitas, artinya kita sudah ramah disabilitas.
Kamu aktif di Gerkatin (Gerakan Untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia), memperjuangkan apa saja?
Fokus memperjuangkan hak tuli, seperti akses bahasa Indonesia melalui teks, akses bahasa isyarat, akses kesetaraan dalam pekerjaan, akses kesehatan, akses pendidikan, dsb.
Memegang jabatan apa di Gerkatin?
Saya fokus di Gerkatin Jakarta, memegang posisi sekretaris. Membantu ketua melempar isu-isu soal disabilitas tuli dan membuat laporan-laporan tentang perkembangan, dan sebagainya. Saya baru masuk Gerkatin setelah selesai magang di kantor gubernur DKI Jakarta.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana saya bisa terlibat di kantor staf presiden. Magang di kantor gubernur waktu itu adalah pekerjaan berat karena persepsi orang mengenai orang disabilitas masih kurang.
Dulu saya pikir pemerintah itu cuek, ternyata setelah masuk ke dalam dan bekerja di situ, mereka tidak cuek hanya belum paham. Jadi tanggung jawab saya mengedukasi mereka untuk menanamkan konsep disabilitas. PR masih banyak.
Kamu ingin jadi staf presiden, sudah memikirkan langkah-langkah untuk mewujudkannya?
Paling pertama lulus kuliah dulu. Kedua, aku mau belajar tentang kebijakan pemerintah, lalu magang dulu untuk tahu seperti apa sistem pemerintahan pusat. Banyak diskusi dengan orang yang terlibat di dunia pemerintahan. Saya juga harus lihat praktik-praktik cara kerja di kantor staf kepresidenan negara lain.
Tahun lalu saya sempat mengunjungi Gedung Putih di AS, saya lihat ada orang tuli jadi staf Obama. Itu sangat menginspirasi saya. Kalau dia bisa, pasti saya juga bisa bekerja di tempat serupa.
Kamu ambil pendidikan bahasa Inggris, kan?
Cuma sampai semester enam. Setelah itu saya magang di kantor gubernur dan berubah pikiran mau kuliah di Amerika tentang International Studies atau kebijakan publik. Mudah-mudahan, doakan ya, bulan ini ada tesnya. Saya ingin buru-buru, saya ingin cepat kerja soalnya. Mohon doanya.
Di mana?
Ada dua universitas yang mau aku coba daftar. Rochester University sama universitas di Washington D.C.
Surya pernah menjajal variasi sistem pendidikan. Dia pernah mengikuti TK Umum, lalu pindah ke TK Luar Biasa untuk mempersiapkan diri menuju sekolah dasar. Selama enam tahun Surya belajar di SD SLB, lebih cepat dua tahun dari rata-rata murid tuli yang biasanya lulus setelah 8 tahun. Dia kemudian sekolah di SMP Umum, lalu melanjutkan pendidikan tingkat SMA dengan cara homeschooling.
Kamu merasakan SD di SLB, SMP di sekolah umum dan homeschooling saat SMA. Seperti apa dinamikanya?
Akses, sistemnya berbeda. SD, SLB dan homeschooling beda-beda. Saat di universitas saya ada akses juru bahasa. Waktu di SLB… jadi saya dipaksa untuk berbicara, memakai pendengaran, dipaksa hidup seperti orang mendengar.
Dan sekolah umum itu ada hambatan, jadi sering ada miskomunikasi, kalau ujian listening enggak bisa ikut. Waktu SMA homechooling, face to face interaksi lebih gampang. Pas SMP gurunya banyak. Tiap mata pelajaran gurunya berbeda, saya sangat kesulitan menyesuaikan diri untuk membaca gerak bibir guru-guru tersebut. Homeschooling keuntungannya waktu lebih fleksibel, jadi pas SMA saya sudah mulai bisa bergabung sama organisasi tuli. Dari situ saya sadar identitas saya sebagai tuli, bukan tuna rungu
Surya selalu menekankan bahwa tuli dan tunarungu itu berbeda. Tunarungu punya konotasi negatif dan terkesan kasar, sedangkan tuli sebaliknya.
Tunarungu berkaitan dengan perspektif medis. Tuna rungu artinya enggak bisa mendengar, seperti orang ini ada masalah, harus memakai alat pendengaran, harus diperbaiki, harus dibuat seperti orang mendengar. Kalau tuli ya sudah tuli saja, (kami) hanya berbeda.
Surya dilatih sejak kecil sehingga dia bisa berkomunikasi secara verbal. Dewi Yull mengungkapkan dalam berbagai wawancara media bahwa proses mengajari anak tuli agar bisa bicara seperti kaum mendengar tak semudah membalikkan telapak tangan.
Seperti apa sih sekolah verbal? Berat ya?
J: Berat. Pakai stik (menirukan gestur stik diletakkan di dalam mulut) lidahnya ditata… dsb. Di rumah saya juga diajari bicara terus, waktu itu keluarga belum paham perlunya bahasa isyarat. Waktu kecil saya beruntung karena kakak pertama saya (mendiang Gisca Putri Agustina) juga tuli. Jadi saya sebenarnya dapat dua bahasa, bahasa lisan maupun bahasa isyarat. Kalau enggak dapat akses bahasa isyarat dari kecil, saya mungkin akan sangat tertutup, enggak seperti sekarang.
Ada anggapan belajar bahasa isyarat bikin malas belajar verbal, menurut kamu?
Bisa jadi orangtuanya malas belajar bahasa isyarat atau masyarakat belum paham peran bahasa isyarat sehingga terus menekan anak tuli untuk bicara, itu kan pilihan orang. Tetapi menurut saya kalau orang tuli enggak bisa bicara enggap apa-apa karena ada cara lain. Pakai isyarat, tulisan, handphone.
Ternyata orang dengar juga mampu belajar bahasa isyarat. Kalau masyarakat atau pemerintah paham pentingnya bahasa isyarat, pasti orangtua akan belajar dan mau menerima bahasa isyarat. Sekarang banyak pihak belum tahu jadi orangtua terpengaruh, (menganggap) bahasa isyarat enggak bagus.
Ketika sekarang sudah terbiasa dengan bahasa isyarat, lupa enggak sama pelajaran verbal?
Sama seperti orang mendengar yang bisa bahasa Indonesia terus belajar bahasa Inggris, lupa enggak sama bahasa Indonesianya? Tetap masih bisa. Tapi umpamanya aku enggak bisa bahasa bicara, enggak masalah.
Dua tahun silam, Gerkatin (Gerakan untuk kesejahteraan tuna rungu Indonesia) mengusulkan agar Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) secara resmi menjadi pengganti SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia).
SIBI adalah sistem isyarat yang dibuat orang-orang mendengar tanpa melibatkan orang tuli, sedangkan BISINDO dikembangkan oleh orang tuli sehingga lebih mudah dipahami.
Pada 2014, kamu memperjuangkan agar BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) jadi bahasa untuk orang tuli. Bagaimana perkembangannya sekarang?
Berkembang dan menyebar luas. Banyak beberapa artis juga mau belajar bahasa isyarat. Ini membawa efek baik untuk penyebaran bahasa isyarat. Pemerintah juga sudah mendorong pengembangan bahasa isyarat. Tahun depan ada Kongres Bahasa Indonesia dan topik bahasa isyarat sudah masuk di kongres itu, ini pertama kali bahasa isyarat masuk kongres yang sifatnya sangat penting.
SLB kan pakai SIBI, sekarang sudah diganti belum dengan BISINDO?
Belum. Mungkin sekolah baru yang akan dibangun bisa mulai pakai BISINDO. Sekarang ada dua sekolah baru, di Bali dan Bekasi yang pakai BISINDO. Mudah-mudahan jumlahnya terus bertambah. Kalau sekolah lain lihat BISINDO berdampak baik buat perkembangan anak, mungkin akan ditiru. Selain BISINDO, sekolah itu menyediakan akses bahasa Indonesia tulis karena kemampuan bahasa isyarat bisa membantu kemampuan kognitif, kemampuan kritis orang tuli setara dengan kaum mendengar
Bahasa isyarat kan bervariasi. Sulitkah berkomunikasi dengan penyandang tuli beda negara?
Bisa. Pernah saya ikut international deaf camp, bahasa isyaratnya berbeda-beda. Awalnya menebak-nebak, ada kesulitan, tapi lama-lama komunikasi lancar.
Surya menganalogikannya seperti ketika orang mendengar harus berinteraksi dengan orang-orang dengan bahasa berbeda. Pasti harus beradaptasi awalnya, namun lama-lama akan terbiasa.
Ada bahasa universal untuk bahasa isyarat?
Tidak ada. Sama seperti bahasa lisan. Ada bahasa Inggris, Spanyol, dan sebagainya. Bahasa isyarat Indonesia dan AS berbeda. Itu adalah bagian identitas kelompok sendiri, itu harus dijaga dan dikembangkan masing-masing.
Di Indonesia banyak variasi bahasa isyarat, misalnya bahasa isyarat Jakarta dan isyarat Yogyakarta. Harus dijaga supaya masing-masing bisa berkembang. Justru semakin banyak variasi, makin baik dan harus dijaga. Sama seperti menjaga sejarah, variasi adalah bagian dari perkembangan komunitas masing-masing.
Apa saja sih mitos-mitos orang tuli?
Pertama, orang pikir orang tuli yang pakai bahasa isyarat enggak bisa mengembangkan kemampuan bicara. Lalu, orang tuli yang pakai alat pendengaran langsung bisa mendengar kayak orang dengar biasa.
Penggemar klub sepakbola Chelsea itu juga pernah terlibat proyek musik bersama Andin Komalla. Sebagian personel grup musik itu adalah difabel, Surya sendiri memainkan piano dalam pertunjukan itu.
Menurut Surya, musik tak melulu berhubungan dengan suara atau telinga, tapi berkaitan juga dengan getaran yang dirasakan tiap individu.
Ada rencana proyek musik mendatang?
Mungkin ada, misalnya menerjemahkan lagu ke bahasa isyarat, membuat musik yang kuat secara visual sehingga bisa dinikmati orang tuli.
Pesan?
Ayo belajar bahasa isyarat! Sebab bahasa isyarat bermanfaat untuk semuanya, bisa memberikan warna kehidupan baru. Jangan berpikir orang lain punya keterbatasan, itu adalah sebuah ujian. Kita harus mencari kelebihan. Seperti ada satu pintu tertutup, tapi ada sejuta pintu lain yang terbuka, carilah pintu itu. Artinya, cari kesempatan yang bisa kita dapat.
Oleh Nanien Yuniar
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017