"Jual beli manuskrip jalur internasional antarkolektor ada yang dilakukan di Aceh dan ada juga manuskrip yang dibawa ke luar negeri. Penjualan ini salah satu penyebabnya didasari pada urusan ekonomi," kata Hermansyah saat dihubungi di Banda Aceh, Rabu.
Ia menjelaskan sepanjang tahun 2017, manuskrip-manuskrip di Aceh masih diperjualbelikan ke luar negeri terutama Malaysia dan dalam catatannya ada sekitar 200 manuskrip telah dijual ke luar negeri dengan rentang tahun 2015 sampai 2017.
Menurut dia penjualan manuskrip Aceh ke luar negeri tersebut merupakan hasil penelurusan dan informasi dari para peneliti luar yang saat diinventarisir terkait asal usul manuskrip yang dimiliki tersebut.
"Faktor jual beli manuskrip ini didasari pada urusan ekonomi. Kolektor di Aceh dengan mudah menjual naskah-naskah tersebut tanpa menjaga warisan Aceh," katanya.
Ia juga mengatakan faktor penjualan tersebut juga disebabkan kurangnya perhatian Pemerintah Aceh terhadap penyelamatan naskah di Aceh, seperti tidak adanya alokasi dana untuk pembelian manuskrip koleksi pemerintah, khususnya museum Aceh.
Hermansyah yang juga dosen UIN Ar-Raniry itu menyarankan agar Pemerintah Aceh memberikan perhatian serius kepada naskah kuno tersebut dengan memberi kompensasi atau membeli naskah yang saat ini masih ada di masyarakat.
"Ini merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan manuskrip Aceh yang nantinya dapat dijadikan sebagai warisan sejarah Aceh di masa mendatang," katanya.
Ia menambahkan pascarehabilitasi dan rekontruksi gempa dan tsunami Aceh, beberapa NGO dan negara luar sudah membantu penyelamatan manuskrip di Aceh seperti Jepang dan Jerman.
"Negara-negara tersebut pernah membantu restorasi dan digitilisasi manuskrip Pemerintah. Saya juga menyarankan Pemerintah Aceh dapat mencari donatur luar untuk bekerja sama lebih lanjut dengan lembaga tersebut," kata Hermansyah.
Pewarta: M Ifdhal
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017