Jakarta (ANTARA News) - Penulis muda Rain Chudori menerbitkan novel perdananya yang berjudul "Imaginary City".
Karya yang disebut Rain sebagai surat cinta untuk Jakarta ini menjadi buku keduanya setelah antologi "Monsoon Tiger and Other Stories".
Peluncuran "Imaginary City" di Jakarta pada Sabtu (14/10) petang berlangsung dalam suasana intim, dipenuhi keluarga dan teman-teman, diwarnai dengan penampilan musik dan lakon dari sahabat-sahabat yang punya andil dalam novel perdananya.
"Imaginary City" sengaja dikemas seperti buku panduan sebuah kota, lengkap dengan selembar peta yang menunjukkan delapan lokasi dalam novel, beberapa di antaranya adalah pantai, kafe, toko es krim, bioskop hingga museum.
Ketika ditanya mengapa sampul bukunya menampilkan toko es krim Ragusa, alih-alih menjawab Rain justru berkata, "lihat (sampul) belakang". Di bagian depan, terlihat sebuah kursi dan meja berisi es krim. Namun es krim itu menghilang di sampul belakang.
"Coba baca, habis itu lihat rasanya bagaimana," ujar putri wartawati Tempo sekaligus cerpenis dan novelis Leila S. Chudori dengan fotografer sekaligus esais foto jurnalisme Yudhi Soerjoatmojo itu.
Buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia dan Manual Jakarta itu akan dipamerkan di Frankfurt Book Fair 2017, menyusul jejak buku pertamanya yang juga dipamerkan di sana dua tahun lalu.
Berikut perbincangan dengan gadis kelahiran 10 November 1994 itu mengenai pembuatan buku hingga sumber energi di balik prosesnya yang relatif singkat.
Novel ini tentang apa?
Novel ini menceritakan kisah tentang seorang pasangan yang mereka harus berpisah dan semua kenangan mereka itu di Jakarta waktu malam.
Idenya?
Dari hidup (tertawa)
Pengalaman pribadi?
Iya..
Ada beberapa lokasi di Jakarta yang ada di buku ini, kenapa pilih tempat itu?
Karena ini kan di Jakarta waktu malam, sebetulnya tidak semua tempat di Jakarta buka sampai malam banget. Nah setting di novel itu kebanyakan mungkin dari jam 20.00 malam sampai jam 05.00 pagi.
Ini memang beberapa tempat khusus di Jakarta yang buka sampai sangat malam. Misalnya pantai, kita selalu bisa ke pantai kan... Terus kafe Butfirst yang buka sampai malam. Sebetulnya Museum Nasional enggak sih, tapi itu sampai sore lah. Itu tempat-tempat yang untuk saya ada kenangan pribadi dan menurut saya untuk banyak orang di Jakarta.
Kenapa latar belakangnya malam hari?
Nah yang itu saya enggak mau kasih tahu, jadi harus baca. Tapi ya itu karena ada alasan tersendiri. Alasan kenapa mereka cuma bisa bertemu waktu malam dan mengapa mereka harus berpisah.
Berapa lama proses menulis?
Tiga bulan. Nonstop tiap hari. Saya menulis dari jam 08.00 pagi sampai 18.00-19.00 malam.
Sumber stamina?
Kopi. Itu bukan ide yang bagus sih (tertawa), tapi saya minum banyak banget kopi. Dan saya minumnya di Butfirst, dan ada satu bab khusus buat Butfirst. Itu memang menurut saya the best coffeeshop di Jakarta. It's home for a lot of people.
Jadi kamu sambil riset sekalian nulis di lokasi? Atau meluangkan waktu untuk riset?
Ada waktu sendiri yang saya luangkan, lalu nanti saya ke Butfirst saya menulis.
Ada pengaruh penulis-penulis lain dalam buku ini?
Saya selalu membaca lima buku sekaligus agar saya selalu mendapat gaya-gaya yang berbeda dan sebagainya. Agar saya bisa mendapat banyak cerita, banyak style macam-macam.
Pengaruh dari orang sekitar? Ibu atau keluarga?
Saya nulisnya bahasanya beda sama ibu saya, jadi enggak banyak.. Maksudnya ibu saya berpengaruh dalam soal bahwa dia penulis, tapi dia enggak ngedit atau apa pun. Yang sangat berpengaruh besar ya itu, teman-teman saya yang tadi performer...
Kenapa menulis pakai bahasa Inggris? Lebih nyaman atau ada keuntungan lebih dibandingkan bahasa Indonesia?
Keuntungan menurut saya sama saja, cuma saya belum fasih menulis bahasa Indonesia.
Berminat menulis dalam bahasa Indonesia?
Aduh, ingin banget bisa sejago itu. Tapi belajar menulis bahasa dan belajar berbicara bahasa itu dua hal yang sangat berbeda dan butuh proses yang panjang.
Novel ini menyoroti Jakarta, harapan kamu untuk Jakarta?
Saya yakin bahwa semua orang mempunyai bagian dari dirinya yang mencintai Jakarta. Karena mereka mencintai Jakarta seharusnya mereka lebih.. they should act like they love Jakarta and acting like they love Jakarta artinya lebih banyak toleransi, lebih banyak ruang, lebih banyak pergerakan pikiran yang lebih sehat.
Berikut video perbincangan dengan Rain Chudori:
Oleh N011
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017