Berdasarkan data Pew Research Center, terdapat 4,8 juta Muslim atau 5,8 persen di Jerman dari total populasi 82,67 juta penduduk. Artinya Muslim merupakan kaum minoritas terbesar di Jerman.
Sebagai minoritas di negara sekuler, seperti Jerman, tentu kehidupan seorang Muslim tidak semudah di negara yang mayoritas Muslim, seperti Indonesia.
Salah satu mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh studi di Georg-August Universitat Gottingen, Elifas Omega Yusufadisyukur, mengaku Jerman merupakan negara yang sangat toleran terhadap semua agama, termasuk Muslim.
"Di sini sangat menghormati orang lain, selama dia enggak mengurusi aku, aku juga enggak mengurusi dia, kita fair saja, untuk Muslim pun sangat dihormati di sini," ujarnya.
Ia pun menceritakan pengalamannya ketika akan menunaikan ibadah Shalat Idul Adha yang bertepatan dengan jam perkuliahan.
"Saya bilang ke profesor dan mempersilakan, bahkan bilang silakan bersenang-senang, setelah shalat paling satu jam, saya balik lagi ke kampus juga bisa," ujarnya.
Mahasiswa double degree Program Master Agribisnis di Institut Pertanian Bogor dan Georg-August Universitat Gottingen itu mengaku hingga saat ini belum pernah mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan atau diskriminasi di Jerman.
Bahkan, lanjut dia, akses untuk beribadah, seperti masjid dan mendapatkan makanan halal pun sangat mudah.
Terdapat lima masjid di Kota Gottingen dan supermarket makanan halal bisa didapatkan, terutama di restoran atau supermarket yang didirikan oleh orang-orang Turki sebagai komunitas Islam terbesar di Jerman.
Masjid dan Pusat Kebudayaan Islam NBS yang terletak Flughafenstr. 43 Berlin, Jerman. (ANTARA/Juwita Trisna Rahayu).
Islam sendiri dibawa oleh orang-orang Turki mulai abad ke-17. Tidak heran jumlahnya pun dominan dibanding dengan Muslim dari negara lainnya.
Berdasarkan data dari Goethe Institut, Turki menempati 50,6 persen atau 2,2 juta orang dalam komunitas Muslim di Jerman, kemudian diikuti Timur Tengah 17,1 persen atau 774.975 orang, Eropa Tenggara 11,5 persen atau 518.938 orang, Afrika Utara 5,8 persen atau 264.429 orang, Asia Tengah 2,4 persen atau 106.540 orang dan Iran 1,9 persen atau 84.956 orang.
Muslim di Jerman juga menunjukan beragam pula aliran yang dianutnya, yang terbanyak adalah Sunni, yaitu 74 persen, Alawi 13 persen, Syiah tujuh persen, Ahmadiyah dua persen dan lainnya empat persen.
Karena itu, Yoga mengatakan, karakter serta kebiasaannya bisa berbeda dengan Muslim pada umumnya di Indonesia.
"Saya pernah ditanya tempat membeli ganja, saya bilang saya tidak seperti itu, mungkin Muslim yang Anda temukan berbeda dengan saya, tapi kami saling menghargai," ujarnya.
Pria asal Solo itu mengatakan perbedaan yang sangat terlihat di negara sekuler adalah bukan dari agama apa yang dianut, tetapi dari sikap yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, seperti berkata jujur, memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara atau mempersilakan orang tua untuk duduk di transportasi umum.
Dia mengaku benar-benar dituntut untuk menjadi orang yang baik di Jerman, bukan karena dia minoritas. Orang tidak akan peduli dia Muslim atau bukan.
Menurut dia, yang terpenting adalah bagaimana bisa menarapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, bersosialisasi dengan komunitas dan sebagainya.
Nilai-nilai Islam itu, kata dia, juga bukan hanya sembahyang, tetapi jujur, tepat waktu. Orang-orang di sini mayoritas bukan Islam, tetapi terkadang nilai-nilai keislamannya lebih terlihat.
Berdasarkan data dari Goethe Institut, Turki menempati 50,6 persen atau 2,2 juta orang dalam komunitas Muslim di Jerman, kemudian diikuti Timur Tengah 17,1 persen atau 774.975 orang, Eropa Tenggara 11,5 persen atau 518.938 orang, Afrika Utara 5,8 persen atau 264.429 orang, Asia Tengah 2,4 persen atau 106.540 orang dan Iran 1,9 persen atau 84.956 orang.
Muslim di Jerman juga menunjukan beragam pula aliran yang dianutnya, yang terbanyak adalah Sunni, yaitu 74 persen, Alawi 13 persen, Syiah tujuh persen, Ahmadiyah dua persen dan lainnya empat persen.
Karena itu, Yoga mengatakan, karakter serta kebiasaannya bisa berbeda dengan Muslim pada umumnya di Indonesia.
"Saya pernah ditanya tempat membeli ganja, saya bilang saya tidak seperti itu, mungkin Muslim yang Anda temukan berbeda dengan saya, tapi kami saling menghargai," ujarnya.
Pria asal Solo itu mengatakan perbedaan yang sangat terlihat di negara sekuler adalah bukan dari agama apa yang dianut, tetapi dari sikap yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari, seperti berkata jujur, memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara atau mempersilakan orang tua untuk duduk di transportasi umum.
Dia mengaku benar-benar dituntut untuk menjadi orang yang baik di Jerman, bukan karena dia minoritas. Orang tidak akan peduli dia Muslim atau bukan.
Menurut dia, yang terpenting adalah bagaimana bisa menarapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, bersosialisasi dengan komunitas dan sebagainya.
Nilai-nilai Islam itu, kata dia, juga bukan hanya sembahyang, tetapi jujur, tepat waktu. Orang-orang di sini mayoritas bukan Islam, tetapi terkadang nilai-nilai keislamannya lebih terlihat.
Muslimah beribadah sholat Dzuhur berjamaah di Masjid dan Pusat Kebudayaan Islam NBS di Berlin, Jerman. (ANTARA/Juwita Trisna Rahayu).
Menghargai hak individu
Saling menghargai pilihan dan hak individu juga tercermin di negara federal itu, termasuk terhadap anak-anak.
Deniey Adi Purwanto, Kandidat doktor Fakultas Ilmu Ekonomi Georg-August Universitat Gottingen itu sudah lima tahun tinggal di kota Gottingen, Jerman, bersama keluarganya.
Ketika putrinya yang masih sekolah dasar memilih untuk menggunakan jilbab, guru menanyakan apakah itu adalah perintah dari orang tua atau pilihannya sendiri.
Saya jelaskan bahwa itu keputusannya sendiri karena pihak sekolah ingin memastikan jilbab itu pilihan anak dan aman untuk melakukan aktivitas, katanya.
Dosen Institut Pertanian Bogor itu mengatakan di sekolah juga diajarkan materi agama, tetapi tidak spesifik agama tertentu.
Mereka diajarkan kisah, jadi ketika pulang sekolah terjadi diskusi kenapa Nabi Isa di sekolah dan yang Ayah ceritakan berbeda.
Selama lima tahun tinggal di Jerman, Deniey mengatakan jarang sekali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.
Menurut dia, pada umumnya orang Jerman menerima semua agama, hanya beberapa gesekan yang muncul karena adanya kecemburuan terhadap imigran, terutama dari segi finansial karena mereka juga dijamin oleh negara.
Berkaca pada kehidupan toleransi beragama yang tengah terusik di Indonesia, Deniey menilai bahwa sebetulnya Indonesia sudah dipayungi oleh demokrasi.
"Negara mana yang paling demokratis selain Indonesia? Di Amerika pun yang disebut negara paling demokratis, pemilihan presidennya tidak bisa secara langsung seperti kita," ujarnya.
Namun, menurut Deniey, memang membutuhkan waktu untuk memaknai, memahami serta megimplementasikan dengan baik demokrasi yang dimiliki oleh Indonesia saat ini.
Belajar menjadi minoritas
Fadhli Lukman, mahasiswa Studi Keislaman Freiburg University menilai terkadang untuk bisa menerapkan toleransi itu, seseorang perlu belajar menjadi minoritas.
Dengan menjadi minoritas, menurut dia, seseorang lebih bisa memahami esensi beragama, baik hubungannya dengan manusia maupun dengan Tuhan.
Seperti pengalamnya, ketika menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan sendiri dan jauh dari keluarga dan suasana yang biasanya ia rasakan.
"Merasakan puasa di sini sendiri, jauh dari keriaan berpuasa di Indonesia dan itu benar-benar intim," ujarnya.
Saling menghargai pilihan dan hak individu juga tercermin di negara federal itu, termasuk terhadap anak-anak.
Deniey Adi Purwanto, Kandidat doktor Fakultas Ilmu Ekonomi Georg-August Universitat Gottingen itu sudah lima tahun tinggal di kota Gottingen, Jerman, bersama keluarganya.
Ketika putrinya yang masih sekolah dasar memilih untuk menggunakan jilbab, guru menanyakan apakah itu adalah perintah dari orang tua atau pilihannya sendiri.
Saya jelaskan bahwa itu keputusannya sendiri karena pihak sekolah ingin memastikan jilbab itu pilihan anak dan aman untuk melakukan aktivitas, katanya.
Dosen Institut Pertanian Bogor itu mengatakan di sekolah juga diajarkan materi agama, tetapi tidak spesifik agama tertentu.
Mereka diajarkan kisah, jadi ketika pulang sekolah terjadi diskusi kenapa Nabi Isa di sekolah dan yang Ayah ceritakan berbeda.
Selama lima tahun tinggal di Jerman, Deniey mengatakan jarang sekali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.
Menurut dia, pada umumnya orang Jerman menerima semua agama, hanya beberapa gesekan yang muncul karena adanya kecemburuan terhadap imigran, terutama dari segi finansial karena mereka juga dijamin oleh negara.
Berkaca pada kehidupan toleransi beragama yang tengah terusik di Indonesia, Deniey menilai bahwa sebetulnya Indonesia sudah dipayungi oleh demokrasi.
"Negara mana yang paling demokratis selain Indonesia? Di Amerika pun yang disebut negara paling demokratis, pemilihan presidennya tidak bisa secara langsung seperti kita," ujarnya.
Namun, menurut Deniey, memang membutuhkan waktu untuk memaknai, memahami serta megimplementasikan dengan baik demokrasi yang dimiliki oleh Indonesia saat ini.
Belajar menjadi minoritas
Fadhli Lukman, mahasiswa Studi Keislaman Freiburg University menilai terkadang untuk bisa menerapkan toleransi itu, seseorang perlu belajar menjadi minoritas.
Dengan menjadi minoritas, menurut dia, seseorang lebih bisa memahami esensi beragama, baik hubungannya dengan manusia maupun dengan Tuhan.
Seperti pengalamnya, ketika menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan sendiri dan jauh dari keluarga dan suasana yang biasanya ia rasakan.
"Merasakan puasa di sini sendiri, jauh dari keriaan berpuasa di Indonesia dan itu benar-benar intim," ujarnya.
Ibadah sholat Dzuhur berjamaah di Masjid dan Pusat Kebudayaan Islam NBS di Berlin, Jerman. (ANTARA/Juwita Trisna Rahayu)
Pakar Sejarah Islam di Asia Tenggara, khususnya Indonesia Georg-August Universitat Gottingen Fritz Schulze mengatakan Islam di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan Islam di negeri Timur Tengah karena adanya demokrasi.
"Ada banyak yang mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia dan membuatnya berbeda, yaitu Pancasila, demokrasi dan banyaknya aliran Nahdatul Ulama, Muhammadiyah yang membuat lebih terbuka," ujar profesor yang juga pernah melakukan penelitian kerja sama dengan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Universitas Indonesia itu.
Sementara itu, menurut Managing Director Institut untuk Studi Budaya dan Agama Islam Goethe Universitat Frankfurt Am Main Profesor Bekim Agai, negara berupaya untuk memfasilitasi pendidikan Islam di Jerman yang berbeda antarsatu aliran dengan yang lainnya.
Misalnya, Kelompok Syiah menginginkan pelajaran Agama Islam yang sesuai dengan ajarannya, begitu juga untuk Sunni dan Ahmadiyah.
"Kami berupaya mengakomodir pembelajaran agama bagi semua aliran, meskipun tidak mudah karena harus menyesuaikan gurunya, tetapi kami menghargai perbedaan itu. Ini lah Islam di Jerman," tuturnya.
Oleh Juwita Trisna Rahayu
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017