Jakarta (ANTARA News) - Mantan Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 Maruarar Siahaan menilai sistem satu atap di Mahkamah Agung (MA) akan membahayakan bila kekuasaan MA berjalan tunggal tanpa ada kekuasaan setara yang mendampingi.Ketika sistem satu atap di MA berjalan dan tidak ada yang boleh mencampuri, ini akan membahayakan."
"Ketika sistem satu atap di MA berjalan dan tidak ada yang boleh mencampuri, ini akan membahayakan," kata Maruarar dalam sebuah diskusi hukum di Jakarta, Rabu.
Menurut Maruarar, kekuasaan seperti MA tidak boleh berjalan sendirian, meskipun ada Badan Pengawas (Bawas) MA yang mengawasi.
Maruarar berpendapat harus ada lembaga sejenis yang membantu MA dalam menjalankan tugasnya.
Dalam hal ini Maruarar menyebutkan Komisi Yudisial sebagai salah satu lembaga peradilan yang dapat mendampingi MA dalam bidang pengawasan hakim.
"Harus ada sistem pengawasan dan keseimbangan (check and balances), artinya kekuatan yang satu harus mengawasi kekuatan yang lain," kata Maruarar.
Lebih lanjut Maruarar mengatakan Bawas MA akan sulit dalam mengawasi lebih dari 800 pengadilan di Indonesia, sementara Bawas MA memiliki sumber daya masyarakat yang terbatas.
"Intinya tidak boleh ada kekuasaan yang tidak dikontrol, karena sistem satu atap ini seperti konsep kemalaikatan, karena hanya malaikat yang tidak perlu diawasi," pungkas Maruarar.
Sistem satu atap oleh MA merupakan hasil dari proses pengalihan organisasi, administrasi, dan keuangan badan peradilan yang sebelumnya di bawah kontrol pemerintah (Kementerian Kehakiman) diawali dengan lahirnya Ketetapan MPR No. X tahun 1998 yang menetapkan Kekuasaan Kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif.
Sistem peradilan satu atap sendiri mulai dilaksanakan oleh MA sejak tahun 2004.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017