Cerita harga BBM setara di tepi nusantara

20 Oktober 2017 15:25 WIB
Cerita harga BBM setara di tepi nusantara
Ilustrasi - Sejumlah pekerja memindahkan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari mobil tangki ke dalam drum berkapasitas 300 liter untuk didistribusikan ke Pulau Saparua menggunakan kapal panjang (longboat) di Pelabuhan Bongkar Muat Dermaga Tulehu, Maluku Tengah, Maluku, Selasa (3/10/2017). (ANTARA FOTO/Humas Pertamina/Priyo Widiyanto)
Jakarta (ANTARA News) - Perahu Galilea melambat sebelum sampai ke dermaga. Nampak awak kapal sibuk membuang sesuatu ke laut. Tidak berselang cukup lama, belasan drum bermunculan hanyut mengapung di laut dangkal, nampaknya sengaja dihanyutkan untuk tujuan tertentu. Kemudian, terlihat delapan orang yang menunggu di tepi dermaga sengaja melompat menceburkan diri ke laut menghampiri drum-drum tersebut.

Menggiringnya satu per satu ke tepian, serta mendorong agar menggelinding mudah dipindahkan saat di daratan. Seakan barang yang berharga, drum tersebut dibawa ke tepi dengan sangat hati-hati, bukan perlakuan dorongan kasar. Rupa-rupanya, isi drum tersebut merupakan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dikirimkan oleh pemasok untuk dijual disalurkan kepada masyarakat.

Cara seperti ini lumrah terjadi di Desa Nolot, Pulau Saparua, Maluku. Sejarah asal muasal drum tersebut, ternyata diangkut dengan menggunakan Perahu Galilea pembuang drum tadi, yang bermuatan sekitar 18 drum Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dengan total volume 5.000 Liter.

Awalnya BBM ini berasal dari Terminal BBM Wayame, Maluku, yang diangkut dengan mobil tangki berkapasitas 5 Kilo Liter. Setelah perjalanan sekitar 1 jam, mobil tangki tiba di Dermaga Tulehu untuk memindahkan muatan isi tangkinya ke belasan drum yang sudah siap menanti dipindahkan ke perahu di pinggir dermaga.

Setelah pengisian selesai, BBM dibawa dengan Perahu Galilea ke Pulau Saparua dengan waktu perjalanan sekitar 3 jam di atas laut, barulah dihanyutkan ke laut untuk digiring ke daratan.

Setelah sampai di darat, truk akan membawa BBM tersebut ke satu-satunya lembaga penyalur di pulau ini yaitu Agen Premium Minyak dan Solar (APMS) di pusat keramaian Pulau Saparua.

Untuk sekali proses penurunan BBM hingga siap diangkut truk, pengusaha APMS harus merogoh kocek sekitar Rp 180.000 per perahu. Dalam sehari, ada tiga kali pengantaran dengan perahu. Biaya tersebut belum termasuk biaya pengantaran dengan kapal dan truk ketika tiba di Pulau Saparua.

Begitulah gambaran bagaimana distribusi BBM di salah satu pulau terpencil di Nusantara. Ada kemungkinan cara yang lebih sulit serta berbahaya terjadi di belahan lain pulau di Indonesia untuk bisa menikmati BBM.

Sebab terdapat sebanyak 16.056 jumlah pulau yang sudah terverifikasi menjadikan konektivitas di Indonesia semakin luas serta kompleks jalurnya. Tentu saja kebutuhan masyarakat akan bahan bakar semakin vital untuk dicari.

Tantangan lainnya, selain distribusi, di Papua pada bulan Oktober 2016 untuk mengisi satu liter premium di tangki motor, pengendara harus merogoh "kocek" senilai Rp70 ribu sampai Rp100 ribu untuk jarak tempuh rata-rata hanya 40 kilometer dengan motornya.

Sedangkan pada masa yang sama harga di Pulau Jawa untuk Premium Rp6.450 per liter dan solar Rp5.150 per liter.

Pengiriman dramatis serta tingginya harga BBM tersebut, direspons pemerintah melalui pencanangan program BBM satu harga di seluruh wilayah nusantara. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan Secara Nasional.

Jenis BBM yang termasuk dalam aturan yang ditandatangani Jonan pada 10 November 2016 tersebut adalah solar dan minyak tanah bersubsidi serta premium penugasan.

Kini harga di Papua serta Jawa sudah mulai setara yaitu Premium Rp6.450 per liter dari yang tadinya Rp100 ribu. Tapi belum semua memang merasakan hal yang sama sebab capaian titik lokasi BBM satu harga belum tuntas dengan adanya berbagai kendala.



Hambatan

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mencatat Program BBM Satu Harga di seluruh Indonesia pada tahun 2017 kurang 14 titik untuk memenuhi target capaian akhir tahun yang tersisa sekitar dua bulan lagi.

"Target tahun 2017 adalah sebanyak 54 titik, hingga saat ini sudah 26 yang diresmikan, " kata Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Hendry Ahmad.

Sedangkan enam titik lainnya akan diresmikan dan delapan sisanya baru tahap pengembangan konstruksi serta belum diresmikan. Dan pada tahun 2018 akan ditargetkan sebanyak 50 titik.

Menurutnya, banyak faktor yang menjadi penghambat implementasi Program BBM Satu Harga.

Pertama adalah koordinasi dengan pihak pemerintah daerah sering mengalami perbedaan pendapat. Penentuan lokasi dari Pertamina terkadang berbeda dengan keinginan pemerintah daerah.

Ia mencontohkan pada titik pertama penentuan lokasi belum mendapatkan izin walau Pertamina telah memberikan izin prinsip namun pemda sudah mengeluarkan izin pada titik rekomendasi kedua. Hal itu membuat proses menjadi lambat.

Tindakan selanjutnya, menurut Hendry adalah akan berkoordinasi langsung kepada bupati wilayah terkait. Permasalahan selanjutnya adalah masih terkendala dengan beberapa investor, sebab lokasi sudah menarik namun beberapa investor masih dalam tahap proses.

BPH Migas menyarankan agar memberikan rangsangan insentif bagi investor SPBU pada daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T). "Saat ini Pertamina sudah memberikan rangsangan itu di Papua dengan memberikan margin tambahan Rp700 per liternya," katanya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan pada awalnya margin di beberapa daerah 3T rata-rata adalah Rp150. Apabila per hari terdistribusi 300 liter maka keuntungannya hanya Rp45 ribu per hari dari invetasi awal yang ia contohkan permisalan Rp150 juta.

Maka menurutnya perhitungan tersebut yang membuat investor kurang bersemangat. Oleh karena itu pada saat ini sedang berkoordinasi dengan Pertamina untuk memberikan rangsangan yang tepat selain hanya insentif.

Anggaran untuk program ini dilaksanakan oleh PT Pertamina, di mana sudah mendapatkan mandat tugas dari Pemerintah. Direktur Pemasaran PT Pertamina (Persero) Muhammad Iskandar menyebutkan ada tambahan biaya operasional dari program BBM Satu Harga sebesar Rp600 miliar sampai Rp700 miliar pada semester pertama demi tercapai target.

Iskandar mengklarifikasi bahwa tidak ada kerugian yang berdampak pada perusahaan akibat program yang ditugaskan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut untuk menyamaratakan harga BBM hingga ke daerah tertinggal, terdepan dan terluar (3T).

"Bukan kerugian, memang ada tambahan biaya termasuk ongkos angkut pesawatnya saja bisa Rp49 ribu per liter, sementara kita jual solar Rp5.150. Itu yang menambah biaya dari operating cost. Tahun ini nambahnya sekitar Rp600 miliar hingga Rp700 miliar," kata Iskandar.

Pengiriman BBM menuju daerah pelosok tentu membutuhkan angkutan moda yang tidak sesederhana menggunakan mobil tangki.

Dengan infrastruktur jalan yang belum memadai, Pertamina harus menambah biaya angkut baik dengan pesawat maupun helikopter dan kapal laut.



Kontrol

Agar program subsisdi tepat sasaran, salah satu cara PT Pertamina di wilayah Papua telah menerapkan sistem kupon untuk dapat menikmati BBM satu harga. Jadi setiap nomor polisi pemilik mobil akan didata serta memiliki nomor unik guna mendapatkan jadwal pembelian. Jumlah pembelian dibatasi maksimal 20 liter per tangki mobil. Sehingga masyarakat tidak akan mengantre panjang serta menjamin jumlah pasokan sesuai dengan kebutuhan kupon BBM.

Hal ini juga menghindari adanya penimbunan atau diborong oleh pengecer ilegal untuk dijual dengan harga tinggi lagi. BPH Migas serta Pertamina terus berkordinasi untuk memberikan formulasi pengawasan yang sesuai di setiap daerah.

Oleh Afut Syafril
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017