Mengaku sempat berpikir untuk menunda penyelenggaraan acara, Direktur UWRF Janet DeNeefe merasa bersyukur festival sastra dan budaya itu bisa kembali diadakan, meski hingga saat ini Gunung Agung masih berstatus Awas.
"Beruntung, alam berada di pihak kami," tutur Janet dalam konferensi pers pembukaan UWRF 2017 di Ubud, Bali, Rabu.
Gunung Agung terletak 35 km timur laut dari Ubud. Kalau terjadi letusan, Ubud akan sedikit terdampak dengan hujan abu.
Potensi tersebut ternyata tidak menyurutkan niat para penulis, pengisi acara, maupun penikmat setia untuk datang ke Ubud dan mengikuti rangkaian acara UWRF.
"Banyak penulis tetap bersemangat untuk berpartisipasi dalam acara ini. Saya bisa katakan hanya sedikit sekali penulis dan penikmat sastra budaya yang mengkhawatirkan situasi ini. Mereka sungguh sangat berani," ujar Janet.
UWRF pertama kali diselenggarakan pada 2002 sebagai bentuk pemulihan setelah tragedi bom Bali pertama.
Satu tahun kemudian, festival tersebut kembali menghadapi tantangan saat enam hari sebelumnya terjadi ledakan bom Bali kedua.
Kemudian pada penyelenggaraan tahun 2005, panitia UWRF terpaksa membatalkan beberapa program diskusi yang mengangkat isu 1965 karena larangan pihak kepolisian.
"Dari tahun ke tahun kami belajar untuk menghadapi setiap kekacauan. Saya bisa katakan UWRF mungkin satu-satunya festival paling tangguh di dunia. Tetapi kami berhasil bertahan dan melanjutkan festival ini sampai saat ini," kata Janet.
Sebagai festival sastra terbesar di Asia Tenggara, UWRF tidak hanya mampu merepresentasikan Indonesia dalam kancah global melalui karya sastra, budaya, dan para penulis berbakatnya, tetapi juga menjadi ajang berkumpulnya para tokoh-tokoh berpengaruh di bidang sastra dan budaya untuk mendiskusikan isu terkini, kegelisahan bersama, dan semangat aktivisme.
Untuk penyelenggaraan ke-14 tahun ini, festival yang dikelola Yayasan Mudra Swari Saraswati itu mengangkat tema "Origins: Sangkan Paraning Dumadi".
Diambil dari filosofi Hindu, tema tersebut mengajak para penikmat sastra dan budaya untuk merenungkan kembali koneksi abadi dari mana kita berasal dan ke mana kita semua akan kembali.
Tema ini sangat relevan dengan perkembangan dunia saat ini agar setiap orang mau merenungkan bukan hanya hubungan antarmanusia tetapi juga arti kemanusiaan yang luas mencakup seluruh manusia, planet, dan periode waktu---di tengah globalisasi dan ketidakstabilan politik.
Tidak kurang dari 160 penulis, pekerja seni, aktivis, dan penampil dari 30 negara akan berpartisipasi dalam festival ini.
Diantara semuanya, salah satu yang paling ditunggu yakni sutradara sekaligus pengisi suara tokoh animasi Minions, Pierre-Louis Padang Coffin, yang akan membahas tentang karirnya di dunia perfilman dan perannya sebagai seniman yang tumbuh dengan berbagai latar belakang budaya yakni Prancis, Indonesia, dan Amerika.
Sementara dari Indonesia akan hadir para legenda sastra yaitu pengarang N.H. Dini dan penyair Sutardji Calzoum Bachri. Deretan penulis lain yang turut mengisi festival ini antara lain Joko Pinurbo, Leila S. Chudori, Oka Rusmini, Ahmad Fuadi, dan Intan Paramadhita.
(T.Y013/Y008)
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017