Para seniman Betawi bicara

29 Oktober 2017 15:29 WIB
Para seniman Betawi bicara
Kelompok tari Sanggar Tari Cipta Budaya menampilkan tarian Betawi dalam acara bertajuk "Jakarta Dance Meet Up 2017" di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (30/8/2017). (ANTARA FOTO/Makna Zaezar)
Jakarta (ANTARA News) - Para seniman Betawi punya pandangan dan harapan mengenai budaya yang mereka tekuni. Mereka ditemui pada pergelaran seni budaya Betawi di Jatinegara 2017. Beberapa di antaranya kami temui untuk berbincang-bincang.


Yanto Tampan, seni peran, sanggar Opletrobet (ocehan, plesetan, rombongan Betawi) dan KomBet (Komedi Betawi).

Generasi muda masih minat dengan seni Betawi?
Yanto : Banyak juga sih yang minat, contohnya ada komunitas-komunitas seni Betawi. Mengajak generasi muda supaya tertarik itu tidak sulit, cuma harus tahu cara merangkul. 
Contohnya dari gaya ngomong Betawi itu yang ngablak tapi sopan. Seperti 'songong amat lu jadi anak, jangan ngelawan sama orang tua' di situ kan ada edukasinya.

Respon anak muda seperti apa sih terhadap seni Betawi?
Kita bisa nilai dari respon mereka pas nonton lenong misalnya, ada yang ketawa, ada yang seneng, artinya masih disenangin. 
Sebenernya anak-anak muda masi akrab dengan seni Betawi, kan beberapa lagu Betawi masih sering dinyanyikan, acara di TV banyak menampilkan ikon Betawi, sepertinya di jejaring sosial juga masih banyak yang ala-ala Betawi.

Suka dan duka bawain seni Betawi? 
Banyak sukanya , kayak kalau kita manggung banyak yang respon, ketawa, minta foto bareng. Dukanya kalau ga direspon penonton, karena ga singkron dengan penonton, susah interaksi dengan penonton, tiap kampung penontonnya beda.
Sebenernya lebih puas ngebawain di lenong daripada di layar kaca, soalnya kalo di panggung kita bisa interaksi beneran dengan penonton, bisa lihat respon penonton.

Yanto Tampan mengaku mulai menekuni seni Betawi dari main Lenong, "kira-kira sebelum zaman Pak Sutiyoso". Di layar kaca, dia salah satu aktor di sinetron dan film Mat Angin, Lorong Waktu, Para Pencari Tuhan.



Sofyan Mardianta, seniman tanjidor; Sanggar Putra Mayang Sari

Cara mengenalkan tanjidor ke anak muda? 
Sofyan : Saya perkenalkan ke orang-orang terdekat dulu, lalu di sanggar saya, kaderisasi juga diawali dari keluarga dulu. Rata-rata pemain tanjidor itu masi saudara.

Sejak kapan pak jadi seniman tanjidor? 
"Sejak SD tahun 1985, diajak sama orang tua, saya salah satu penerus generasi ke-5 dari sanggar yang lahir 1922. Yang ikut tanjidor biasanya dari kecil, karena orang tuanya juga main tanjidor.Mereka semua main musik ini otodidak.

Anak muda banyak yang tertarik tanjidor? 
"Banyak, cuma permasalahannya ketika tanjidor jarang pentas, mereka mikir 'kalau begini buat apa dipelajari'. Saya berharap dari pemerintah lebih banyak memperhatikan kami, terutama dalam wadah--wadah pementasan, supaya anak-anak muda semangat karena nyata ada penghasilan.

Juliarta pemain ondel-ondel; Sanggar Betawi Nintang Mahabbah

Bagaimana penghasilan memainkan ondel-ondel?
Juliarta : Kadang kami biasa dapat dari hasil ngecrek atau music box di jalanan. Daerah sekitar Rawamangun yaitu Tiptop, Pisangan, Kayu manis.

Dana untuk beli alat atau pemeliharan ondel-ondel?
Biasanya kami iuran Rp10.000 perhari, dari situ juga kita bisa cepet  beli alat maupun ganti alat yang sudah rusak.

Pengalaman yang menyedihkan?
Biasanya cuaca, alat rusak, kalo sudah gitu biasa kita berhenti. Terutama pas ujan pasti sedih banget kita ga bisa jalan trus kalo kehujanan dijalan pasti yang sering rusak itu gendangnya, kalo gendang yang rusak suara juga pasti berubah.

Cara menarik minat anak muda untuk mau menekuni kesenian ondel-ondel? 
Awalnya kita ajak dulu jalan muter-muter, kiranya untuk menumbuhkan rasa peduli mereka. Kalo udah siap lanjut, saya kasih tau serius jangan maen2 doang, supaya budaya ondel-ondel ini terus lanjut di generasi yang selanjutnya.

Zabir Mustaqim, sanggar KomBet/ Komedi Betawi,Matraman dalam

Cara menarik anak muda ke seni Betawi?
Zabir : Satu-satunya jalan agar generasi sekarang tertarik ke seni Betawi, ya nampilin cerita dari luar dengan logat Betawi, harus banyak membuat ciptaan (cerita red.) baru.
Di KomBet, kami gabungkan tradisi lama dengan modern, jadi teater modern digabung dengan lenong, hasilnya Komedi Betawi.

Itu cukup?
Harus lebih banyak diberi peluang mengadakan pertunjukan sehingga banyak orang muda yang melihat,  dan karena melihat maka tumbuh keinginan untuk berproses.
Di masa sebelum ini, oleh Pemda DKI kami dapat jatah program tujuh kali (pentas, red.) dan berjalan selama 10 tahun. 
Akhir-akhir ini berhenti karena anggaran katanya kurang.  Harapan kami, seniman Betawi harusnya lebih banyak mempertunjukkan budayanya di Jakarta khususnya sebagai tuan rumah. 

Budaya Betawi itu ada pengaruh budaya lain?
Itu sudah pasti, ada Cina, ada Arab, contohnya kalo kita melihat pertunjukan kaya tari lenong dan segala  macam dari warna itu ada merah, kuning dan segala macam itu dah pasti terpengaruh budaya Cina dan Arab. Yang saya tau Betawi itu akarnya dari budaya Cina dan Arab.

Pengalaman paling sedih?
Pernah, rencana pentas, pemain sudah siap, tapi tiba-tiba batal padahal sudah berlatih selama satu bulan penuh, pemainnya banyak. Saya kecewa banget, kejam, tidak menghargai karya, itu yang paling membuat sedih. 

(mgg/Fadhil Hussen/Egy Mahstya)


Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017