Tarif bijak untuk MRT berkelanjutan

1 November 2017 16:28 WIB
Tarif bijak untuk MRT berkelanjutan
Dua pekerja memeriksa pemasangan rel di terowongan proyek Mass Rapid Transit (MRT) Stasiun Bundaran Hotel Indonesia di Jakarta, Kamis (26/10/2017). PT MRT Jakarta menyatakan secara keseluruhan pekerjaan konstruksi sipil MRT Jakarta per 25 Oktober 2017 telah mencapai 83,03 persen dengan rincian jalur dan stasiun layang dan depo Lebak Bulus mencapai 74,64 persen sementara jalur dan stasiun bawah tanah Senayan-Bundaran Hotel Indonesia mencapai 91,49 persen. (ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf)
Jakarta (ANTARA News) - Kereta rel listrik yang menjadi andalan banyak warga Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi kapasitasnya makin terbatas dengan jumlah penumpang yang terus tumbuh hingga mencapai 1,1 juta per hari saat ini.

Guna memenuhi peningkatan kebutuhan akan moda transportasi massal di kawasan itu, pemerintah sedang berusaha mempercepat pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT).

Selain menyediakan pilihan moda transportasi massal cepat, dan menggerakkan perekonomian melalui pengembangan hunian berbasis transportasi (Transit Oriented Development/TOD), pembangunan kedua sarana transportasi itu juga ditujukan untuk menciptakan persaingan sehat yang mendorong perbaikan layanan.

"Kita tidak bisa hanya mengandalkan PT KAI untuk memikul tanggung jawab memindahkan penumpang ini," kata Komisaris MRT Prasetyo Boeditjahjono, yang juga mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.

MRT Jakarta untuk rute Lebak Bulus- Bundaran Hotel Indonesia (HI) akan beroperasi mulai tahun 2019.

MRT yang datang setiap lima menit, melaju dengan kecepatan rata-rata 30-40 kilometer per jam, dan menempuh perjalanan dari Lebak Bulus ke Bundaran HI dalam 30 menit itu menjadi harapan baru bagi warga Ibu Kota dan sekitarnya yang sudah jenuh terjebak macet.

Komisaris MRT Jakarta Prasetyo Boeditjahjono mengatakan MRT Jakarta diharapkan bisa menampung hingga 200.000 penumpang per hari. Harapan itu bisa terwujud antara lain kalau tarifnya kompetitif.

"KRL terus diminati masyarakat, meski pun sudah desak-desakan selain karena memberikan kepastian, juga tarifnya yang sangat murah," kata Prasetyo.

Sebagai contoh, tarif KRL Bogor-Juanda Rp7.000 padahal seharusnya bisa dipatok Rp15.000 sampai Rp20.000.

Ia mengatakan tarif MRT harus diatur terjangkau bagi rata-rata warga Jakarta agar keterisiannya bisa maksimal, selain juga harus didukung dengan kemudahan akses, konektivitas serta pembatasan kendaraan bermotor (roda empat dan dua), lintasan berbayar (Electronic Road Pricing/ERP), tarif parkir dan fasilitas parkir di sekitar stasiun.

Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar menyebutkan bahwa tarif MRT Jakarta akan sekitar satu sampai 1,5 dolar AS atau Rp13.000 sampai Rp20.000.

Tarif itu bisa berkurang kalau ada subsidi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Prasetyo mengatakan tarif layanan transportasi massal cepat itu harus disubsidi supaya bisa memenuhi target mengangkut 200 penumpang per hari.

"Menurut saya untuk Tahap I ini enggak boleh lebih dari Rp10.000," kata Staf Ahli Bidang Teknologi, Lingkungan dan Energi Kementerian Perhubungan itu.

Dengan ukuran kenyamanan serta fasilitas yang baru, Prasetyo menilai wajar tarif MRT sedikit lebih tinggi dari KRL.

Tetapi, dia menjelaskan, pengenaan tarif sebesar itu harus didukung dengan pengembangan kawasan TOD yang diproyeksikan bisa menyumbang pendapatan dari selain tiket, mengurangi kebutuhan akan subsidi serta ke depannya bisa menjadi faktor penurun tarif.


Peran Pemda

Direktur Keuangan PT MRT Jakarta Tuhiyat mengatakan besaran subsidi ongkos MRT akan tergantung pada keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Dengan tarif MRT berdasar perhitungan antara Rp17.000 sampai Rp20.000, menurut dia, subsidi yang dibutuhkan supaya tarifnya kompetitif sekitar Rp8.000.

"Kalau idealnya Rp10.000, artinya Pemda DKI harus memberikan PSO sekitar Rp8.000, kalau (harganya) Rp12.000 subsidinya Rp6.000," katanya.

Apabila demikian, ia melanjutkan, maka jangka waktu pemberian subsidi yang dibutuhkan hanya sampai 10 tahun dari awal operasi 2019 hingga 2029.

Namun Tuhiyat tidak mengesampingkan kemungkinan dilakukannya penurunan harga tiket atau pengurangan atau penghentian subsidi setelah perusahaan operator menghasilkan pendatapan non-tiket, antara lain dari pengembangan TOD.

Saat ini, komposisi kontribusi pendapatan dari nontiket baru dihitung sekitar 10-15 persen.

"Tapi, kalau pendapatan nontiket sampai lebih dari 60 persen kepada revenue (pendapatan), maka subsidi yang diberikan Pemprov DKI bisa hanya sampai 2025 saja," tuturnya.

Tuhiyat menekankan bahwa penetapan tarif MRT harus menunggu proyek selesai supaya biaya proyek pembangunan bisa dimasukkan dalam perhitungan. Menurut dia tarif setidaknya sudah harus ditetapkan tiga bulan sebelum pengoperasian MRT.


Tak Hanya Tarif

Guru Besar Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Danang Parikesit mengatakan bahwa tarif bukanlah satu-satunya komponen yang bisa mendongkrak tingkat terisian suatu angkutan.

Dalam konteks MRT, Danang mengatakan bahwa yang lebih berpengaruh adalah konektivitas dan integrasi, baik stasiun, tarif mau pun jadwal.

"Best practice internasional memperlihatkan bahwa orang paling enggan kalau harus ganti kendaraan umum. Pindah angkutan atau pindah stasiun paling mempengaruhi minat pemakai angkutan umum," ujarnya.

Sementara mengenai kebutuhan akan subsidi dari pemerintah daerah untuk menciptakan tarif MRT yang kompetitif, dia mengatakan bahwa itu bergantung pada kebijakan, mandat dan kewenangan yang diberikan kepada operatornya.

Masing-masing negara menerapkan sistem subsidi yang berbeda-beda, seperti di Tokyo, Seoul dan Taipei yang subsidinya terendah di dunia, di bawah lima persen, atau Hong Kong yang tanpa subsidi.

Sementara kereta perkotaan di negara-negara Eropa, subsidi langsung dan tak langsungnya bisa mencapai 70 persen.

"Tidak ada istilah ideal dalam subsidi. Yang mungkin ideal adalah sistem di mana tidak ada subsidi, terutama subsidi operasi. Yang harus diketahui, kalau mandatnya hanya menjalankan kereta, pasti subsidi operasi makin besar," katanya.

"Memang ini pilihan politik anggaran," ujarnya.

Danang berharap pemberian kewenangan membangun TOD bisa menekan pemberian subsidi hingga di bawah Rp150 miliar sampai Rp200 miliar per tahun.




Oleh Juwita Trisna Rahayu
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017