Awas, anak rentan tercemar radikalisme

3 November 2017 13:47 WIB
Awas, anak rentan tercemar radikalisme
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aktivis Mahasiswa Salatiga melakukan aksi tolak ajaran radikalisme dan terorisme di Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (21/7/2016). Dalam aksi tersebut mereka mengajak seluruh warga khususnya kaum muda untuk tetap mewaspadai dan menolak terhadap penyebaran ajaran radikalisme dan terorisme yang sering dilakukan perekrutan terorisme saat usia muda. (ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho) ()
Jakarta (ANTARA News) - Anak-anak rentan menjadi korban indoktrinasi paham radikal, salah satunya karena faktor ideologi patronase, menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto.

"Faktor ideologi patronase. Misalnya kalau anak dididik guru yang mengajarkan radikalisme, maka anak berpotensi besar memiliki pemikiran dan melakukan tindakan yang sama seperti gurunya," kata dia dalam sebuah diskusi di the Habibie Centre, Jakarta, Jumat.

Selain itu, pengasuhan dalam keluarga juga bisa menjadi faktor yang turut berperan di sini. Menurut Susanto, anak yang sudah terdoktrinasi radikalisme biasanya terdeteksi dari keluarganya yang juga menganut paham serupa.

"Bisa dideteksi dari keluarganya yang menganut radikalisme. Setidaknya cara berpikirnya saja sudah salah," kata dia.

Di luar keluarga, faktor pertemanan misalnya dalam kelompok sebaya ataupun kelompok lainnya,  juga bisa menjadi penyebab anak tercemar radikalisme.

"Yang keempat itu self radicalization. Bisa dari membaca buku, dari intenet, mengakses konten-konten menyangkut radikalisme. Dalam diri yang bersangkutan terjadi faktor radikalisasi. Inilah yang menjadi suplai besar mengapa anak menjadi pelaku radikalisme," papar Susanto.

Data dari Civil Society Against Violent Extremism (C-SAVE), koalisi organisasi masyarakat sipil Indonesia menunjukkan bahwa anak usia di atas usia 10 tahun yang sudah terpapar doktrin radikal dalam relasi sosial cenderung menarik diri dan mengalami hambatan bahkan beberapa berperilaku agresif dan impulsif.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017