Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Kusno pada Senin (6/11) menggelar sidang lanjutan praperadilan yang diajukan Irfan Kurnia Saleh, tersangka dari unsur swasta dalam kasus tersebut.
"Berdasarkan Pasal 42 UU KPK, KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum," kata anggota tim Biro Hukum KPK Mia Suryani Siregar saat memberikan jawaban atas permohonan praperadilan Irfan Kurnia Saleh di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.
Oleh karena itu, kata Mia, pembentukan tim penyidik tetap dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum dan HAM tidak dipersyaratkan.
Selain itu, kata dia, dalam Pasal 42 UU KPK pun menyatakan tidak adanya keharusan membentuk tim penyidik gabungan KPK dan TNI sebagaimana permohonan praperadilan Irfan Kurnia Saleh.
"Yang terpenting adalah peran KPK dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan upaya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan," kata Mia.
Lebih lanjut, Mia menegaskan KPK telah melakukan penyelidikan terlebih dahulu serta melakukan koordinasi dan pengendalian dalam proses penyelidikan dan penyidikan baik dilakukan oleh penyelidik atau penyidik dari KPK maupun POM TNI.
"Selain itu, dilakukan juga koordinasi dengan lembaga lainnya, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan," ucap Mia.
Selanjutnya, ia juga menyatakan bahwa KPK dalam mengendalikan penyelidikan dan penyidikan dalam pekara itu dengan memberikan petunjuk dan arahan, rerkait beberapa aspek penyelidikan atau penyidikan yang perlu ditindaklanjuti oleh penyelidik atau penyidik POM TNI.
"Yaitu, ketika penyelidik atau penyidik POM TNI meminta dukungan KPK melalukan penggeledahan dan penyitaan serta dalam proses pengambilan data digital," ucap Mia.
Irfan Kurnia Saleh merupakan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka dari unsur swasta pada kasus tersebut.
Sebelumnya, dalam pembacaan permohonan pada Jumat (3/11), tim Kuasa Hukum Irfan mempermasalahkan tidak adanya SKB Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Pertahanan dalam penyidikan perkara koneksitas terhadap Irfan Kurnia Saleh.
POM TNI telah menetapkan lima tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter angkut AgustaWestland (AW)-101 di TNI Angkutan Udara Tahun 2016-2017.
Lima tersangka itu, yakni anggota TNI AU yaitu atas nama Kolonel Kal FTS SE sebagai Kepala Unit Pelayanan Pengadaan, Marsekal Madya TNI FA yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa, Letkol admisitrasi WW selaku pejabat pemegang kas atau pekas, Pelda (Pembantu letnan dua) SS staf pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, dan Marsda TNI SB selaku asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara.
Irfan Kurnia Saleh diduga telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI AU Tahun 2016-2017.
Akibatnya, diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar.
Irfan Kurnia Saleh disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya, pada April 2016, TNI AU mengadakan pengadaan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus, yang artinya proses lelang harus diikuti oleh dua perusahaan peserta lelang.
Irfan Kurnia Saleh selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri juga diduga sebagai pengendali PT Karya Cipta Gemilang mengikuti proses pemilihan dengan menyertakan kedua perusahaan tersebut.
KPK menduga sebelum proses lelang dilakukan, tersangka Irfan Kurnia Saleh sudah melakukan perikatan kontrak dengan AgustaWestland sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak sekitar Rp514 miliar.
Pada bulan Juli 2016 dilakukan penunjukan pengumuman, yaitu PT Diratama Jaya Mandiri dan dilanjutkan dengan kontrak antara TNI AU dengan PT DJM dengan nilai kontrak Rp738 miliar. Pengiriman helikopter dilakukan sekitar bulan Februari 2017.
PT Diratama Jaya Mandiri adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa peralatan militer non-senjata yang juga memegang lisensi dari Amerika Serikat untuk terlibat dalam bisnis di bawah Peraturan Kontrol Ekspor peralatan militer dari AS dan Lisensi (Big Trade Business Licence "SIUP").
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017