"Kalau saya itu semua saya serahkan internal kampus. Itu adalah jalur khusus," kata Nasir di Yogyakarta, Senin.
Menurut dia, kampus memiliki otonomi terkait penggunaan hapalan Alquran untuk jalur khusus tersebut. Hafalan Al Quran bisa menjadi salah satu alat ukur mengenai kemampuan anak didik dalam bidang akademik.
Dia mengatakan penghapal Al Quran dari satu sisi memiliki kemampuan menghapal yang baik. Dalam beberapa kajian kecerdasan, hafalan tersebut memiliki keterkaitan dengan kemampuan akademik yang baik.
Kendati demikian, Menristekdikti mengatakan pihaknya tidak akan melakukan kebijakan untuk mewajibkan kampus mengenai penggunaan metode seleksi dengan hafidz Al Quran. Untuk program itu sendiri sudah berjalan di beberapa kampus negeri, baik kampus keagamaan ataupun umum.
"Mau dijalankan atau tidak itu bukan kementerian yang mendorong. Kami ingin memberi ruang kepada perguruan tinggi dengan otonomi," kata dia.
Hal terpenting, kata dia, setiap kemampuan anak didik harus dihargai seperti para juara akademik di bidang olimpiade tertentu, termasuk para penghafal Al Quran.
Menristekdikti mengatakan program apa pun dari kampus selama memicu anak didik menjadi lebih baik sebaiknya diterapkan. Akan tetapi, dia mensyaratkan agar program-program itu harus selaras dengan falsafah negara dan tidak menyimpang.
"Tujuannya kami ingin mendorong mereka menjadi lebih baik. Yang tidak boleh itu menuju radikalisme dan terorisme. Kalau itu ayat suci malah menyebabkan radikalisme itu tidak boleh. Tapi kalau itu untuk menciptakan insan terbaik itu silahkan inovasi perguruan tinggi," kata dia.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017