"Masih sedikit, sejauh ini dari 28 yang mendaftarkan ke BPOM, sebanyak 18 yang diterima," ujar Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen BPOM Ondri Dwi Sampurno kepada Antara di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan sejauh ini dari 28 fitofarmaka yang diajukan terdapat tujuh yang ditolak karena data klinis tidak sesuai dan tidak kredibel, baik dilihat dari metodologi atau hasil analisis.
Sementara tiga fitofarmaka yang diajukan ke BPOM masih diproses dan dievaluasi data klinisnya untuk mengetahui kebenaran data klinis dan membuktikan klaim yang diajukan.
Evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui obat fitofarmaka yang didaftarkan inferior, superior atau equivalen dari klaim yang diajukan.
"Tiga dalam proses, semoga tiga dalam proses ini dapat menambah nanti menjadi 21," ucap dia.
Permasalahan yang dihadapi fitofarmaka di Indonesia, tutur Ondri, antara lain pengembangan produk yang lambat, registrasi, mutu produk yang dihasilkan tidak konsisten, hasil uji pra klinik tidak memenuhi ketentuan dan hasil uji klinik tidak memenuhi ketentuan.
Ada pun 18 fitofarmaka yang terdaftar di BPOM sebanyak dua obat dari Njonja Meneer, satu obat dari Kimia Farma, 10 dari Dexa Medica, dua dari Phapros dan tiga dari Ferron Par Pharmaceutical.
Berdasarkan data BPOM, obat bahan alam berupa jamu yang memiliki bukti empiris di Indonesia sebanyak 7.710, sedangkan obat herbal terstandar (OHT) berasal dari jamu yang dibuktikan secara ilmiah melalui uji pra-klinik terdaftar sebanyak 64 produk.
(T.D020/B015)
Pewarta: Dyah Dwi A
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017