• Beranda
  • Berita
  • Resensi Film - Wage, kisah pilu sang komponis lagu kebangsaan

Resensi Film - Wage, kisah pilu sang komponis lagu kebangsaan

12 November 2017 13:42 WIB
Resensi Film - Wage, kisah pilu sang komponis lagu kebangsaan
Dokumentasi - Seorang seniman Surabaya membawa potret dari Wage Rudolf Supratman dalam teatrikal ketika berziarah di Makam WR Soepratman, Surabaya, Jatim, Minggu (9/3). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Terbaring sendirian di atas ranjangnya yang sempit, dengan serangan penyakit yang menyerang paru-parunya, Wage Supratman melewatkan syakaratul maut dengan masih menggenggam naskah lagu di tangannya. Hanya biola kesayangannya yang tersandar di kursi menyaksikan kematian sang komponis lagu kebangsaan Indonesia Raya itu.

Saat itu tepat tujuh tahun sebelum Proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan Soekarno-Hatta atau tepatnya 1938, WR Supratman yang berperan dalam Sumpah Pemuda 1928 dijemput maut dalam usia yang masih sangat muda 35 tahun tanpa pernah merasakan kemerdekaan yang dicita-citakan dan diperjuangkannya.

Melalui film garapannya berjudul "Wage" Sutradara John De Rantau mencoba menyuguhkan kisah pilu yang dialami Wage Rudolf Supratman sepanjang 120 menit lebih.

Ketika kecil dia mengalami tindak kekerasan oleh bapaknya yang seorang tentara KNIL, di tangsi Jatinegara pada 1912 kemudian ditinggal mati oleh ibunya. Kemudian dibawa merantau ke Makassar oleh kakak perempuannya Roekijem yang bersuamikan seorang Belanda dan dipelihara hingga dewasa.

Bakat musiknya membawanya menjadi musisi kafe tempat hiburan orang-orang Belanda. Grup musik Black and White yang digawanginya selalu bermain di kafe tersebut hingga suatu saat dia dilarang bermain lagi hanya karena dia pribumi dan ikut dalam pergerakan.

Aktivitas Wage dalam pergerakan selalu diawasi oleh agen polisi Belanda Fritz (Teuku Wisnu Rifkana), bahkan selalu mengejar-ngejar.

Tak hanya dikenal sebagai musisi, WR Supratman juga merupakan wartawan di harian Sin Po. Melalui tulisan-tulisannya dia disebut sebagai propagandis oleh pemerintah Belanda dan salah satu penjahat yang harus ditangkap.

Sutradara menyebut ini sebagai film noir atau gelap karena menampilkan sisi kelam tokoh utama. Sepanjang film dia harus berlari menyelamatkan diri dari kejaran polisi Hindia Belanda.

Kritikus film Wina Armada menyebutkan genre film noir muncul pertama kali di Amerika Serikat pada era 1930-an yakni menggambarkan pengejaran sang tokoh oleh penjahat. Noir dalam Bahasa Perancis berarti hitam atau gelap dan genre ini dikenalkan oleh Nino Franz dari Prancis.

Gambar-gambar dalam Wage sangat bagus penuh simbolis. Sutradara berhasil menyuguhkan hal-hal yang simbolis dalam setiap adegan, misalnya ketika Wage menaburkan uang di kamar atau ketika dia merenggut kain batik penutup jenazah ibunya.

Pertemuan Wage dengan RM Sosrokartono mendapatkan wejangan-wejangan yang penuh makna juga syarat dengan simbolisasi pesan yang ingin disampaikan sang sutradara.



Diperankan pas

Tokoh utama film "Wage" yakni WR Supratman diperankan dengan pas dan bagus oleh pendatang baru Rendra Bagus Pamungkas sehingga banyak mendapatkan pujian.

Pria kelahiran Kandangan , Kediri Jawa Timur 21 Maret 1984 tersebut mengenyam pendidikan teater di Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta kemudian melanjutkan ke pendidikan Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Prestasinya di dunia teater dimulai dari penulisan naskah, seni peran hingga penyutradaraan dan berperan dalam "Wage" merupakan langkah awalnya dunia film setelah bertemu sutradara John De Rantau.

Untuk menghidupkan karakter yang dipercayakan kepadanya, Rendra mengakui tidak menggunakan rasio namun mengutamakan rasa, karena referensi mengenai sosok WR Supratman sangat minim, bahkan tak ada foto maupun vidionya seperti misalnya Soekarno.

Ketika memerankan Wage, lelaki berkacamata itu menagku badannya rasanya seperti dituntun dengan sangat baik dan halus sekali. Hanya berbekal bismillah dan memulai setiap aktivitas pengambilan gambar dengan berdoa terlebih dulu.

"Wage"yang diputar di gedung bioskop secara nasional mulai 9 November 2017 menurut Wina Armada merupakan film Indonesia yang sesungguhnya setelah Darah dan Doa karya Usmar Ismail.

Film "Wage" yang diproduksi 2017 tersebut bukan semata merupakan karya sinema namun sutradara mencoba meluruskan sejumlah hal yang dinilai keliru terkait kehidupan WR Supratman yang selama ini tertulis dalam sejarah.

Sutradara John De Rantau tidak tergoda untuk menjadikan film garapannya sebagai karya komersil.

Film ini sangat positif karena ingin menunjukkan bahwa perjuangan tidak harus dilakukan dengan perjuangan fisik namun juga lewat lagu. Selain lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman juga menggubah banyak lagu-lagu perjuangan khususnya untuk golongan pemuda. Semua lagu ciptaan W.R. Soepratman digubah untuk menambah semangat kebangsaan dan cinta tanah air bagi perkumpulan pemuda.

Sebanyak 11 lagu diciptakan W.R. Soepratman untuk menggugah semangat kebangsaan para pemuda pada 1926-1938. Pada tahun 1926 diciptakannya lagu "Dari Barat sampai ke Timur".

Pada 1928 lagu Indonesia Raya selesai diciptakan serta dinyanyikan pertama kali dalam Kongres Pemuda II. Selain itu. "Indonesia Ibuku" dan "Bendera Kita Merah Putih" juga diselesaikan pada 1928 "Bangunlah hai Kawan" kemudian "Raden Adjeng Kartini" pada 1929.

W.R. Soepratman juga menciptakan lagu "Mars KBI" untuk kepanduan bangsa Indonesia pada1930. "Di Timur Matahari" diciptakan pada 1931.

Lagu-lagu bernuansa organisasi politik juga diciptakan pada tahun 1937 dengan judul "Mars Parindra" dan "Mars Surya Wirawan". Lagu yang terakhir diciptakan yaitu "Matahari Terbit" yang diciptakan pada tahun 1938.

WR Supratman meninggal masih sangat muda yakni 35 tahun dan menulis lagu Indonesia Raya dalam usia belum 30 tahun."Wage" merupakan film yang benar-benar mengisahkan tentang orang muda yang mampu melakukan hal-hal besar. Ini film yang bagus untuk generasi muda sekarang.

Pewarta: Subagyo
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017