Saat menyampaikan paparan di acara 23rd Conference of Parties (COP23) di Bonn, Jerman, belum lama ini seperti disampaikan dalam rilisnya di Jakarta, Selasa, Hangga mendorong pemerintah lebih konsisten dalam mengembangkan EBT di tengah semakin tingginya kebutuhan energi di masyarakat.
"Tantangan dalam memanfaatkan EBT adalah harga jualnya yang sulit bersaing dengan energi konvensional seperti batubara dan gas. Padahal energi terbarukan penting untuk menjaga ketahanan energi di masa mendatang," katanya.
Selain Hangga, yang juga menjadi pembicara dalam topik "Re-konfigurasi Bisnis Berbasis SDA untuk Menghadapi Tantangan Baru" tersebut adalah mantan Menko Maritim Dwisuryo Indroyono Soesilo, Manajer Sosial Chevron Indonesia Pinto Budi Bowo Laksono, dan Manajer Lingkungan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) Jorina Waworuntu.
"Pemanfaatan EBT tidak bisa ditunda-tunda, karena Indonesia menjadi negara yang meratifikasi Paris Agreement, yaitu komitmen mengurangi emisi karbon dalam menjaga perubahan iklim global. Saat ini, kita masih bergantung dari energi fosil yang semakin lama semakin mahal dan terbatas. Karena itu, kita dorong pemerintah untuk lebih konsisten memberikan porsi bagi pengembangan EBT ke depan," papar Hangga.
Peraih gelar master dalam bidang kebijakan energi dan lingkungan dari New York University (NYU) tersebut meyakini EBT akan menjadi sumber energi masa depan.
Sebab, Indonesia memiliki potensi sumber daya energi baru terbarukan cukup besar seperti panas bumi (geothermal), mikrohidro, angin, dan matahari.
Hanya saja, lanjut Hangga, harga jual dari energi EBT dinilainya masih belum kompetitif mengingat masih lebih tinggi dibanding energi yang berasal dari fosil seperti batubara maupun gas.
"Pengembangan EBT juga harus dibarengi dengan semakin ekonomisnya harga jual. Oleh karena itu, kita perlu monitor Peraturan Menteri ESDM No 50/2017, apakah regulasi ini masih menarik minat investor untuk mengeksplorasi potensi cadangan energi baru terbarukan atau sebaliknya. Karena selama harga EBT masih di atas harga energi fosil, maka EBT tidak akan bisa berkembang secara optimal," jelasnya.
Sementara Indroyono yang juga Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) membeberkan mulai adanya transformasi bisnis di kalangan pelaku industri kehutanan di Indonesia saat ini dalam menghadapi tantangan perubahan iklim
Termasuk juga kesadaran anggota APHI untuk melakukan antisipasi dini terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
"Kami merekonfigurasi bisnis dengan mengembangkan `agroforestry`, ekowisata, jasa lingkungan seperti penyerapan karbon, bioenergi dan mengoptimalkan produk kayu. Kami bekerja sama dengan semua pihak untuk menanggulangi bencana kebakaran hutan dan lahan," ujar Indroyono.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017