Ketersediaan infrastruktur memang menjadi salah satu titik lemah daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara lain.
Dalam membangun infratruktur seperti bandara, pelabuhan dan jalan tol, pemerintah memperkirakan biaya pembangunan pada 2015-2019 mencapai Rp4.796,2 triliun.
Dari perkiraan tersebut, kemampuan APBN dan APBD hanya mampu menutupi 41,3 persen atau Rp1.978,6 triliun, BUMN 22,2 persen atau Rp1.066,2 triliun, sedangkan swasta 36,5 persen atau Rp1.751,5 triliun.
Dengan terbatasnya APBN dan APBD serta BUMN dalam menyediakan dana infrastruktur, inovasi tentang skema pembiayaan pun bermunculan.
Misalnya, skema pembiayaan investasi non anggaran pemerintah (PINA), kerja sama pemerintah swasta atau ?public private partnership? (PPP) serta kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Sektor perbankan masih tetap diharapkan peranannya sebagai sumber pembiayaan, termasuk pasar modal melalui berbagai produk yang ada.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menyatakan komitmennya untuk terus menggali pembiayaan pembangunan infrastruktur yang bersumber dari pasar modal.
Komitmen itu disertai kesadaran bahwa sektor perbankan tidak akan kuat membiayai pembangunan infrastruktur.
"Perbankan tidak akan kuat membiayai pembangunan infrastruktur. Jadi kami akan alihkan pembiayaan infrastruktur dari pasar modal saja," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Pada tahun ini penghimpunan dana di pasar modal sudah mencapai Rp220 triliun, sementara pada 2018 ditargetkan penghimpunan dana sebesar Rp673,94 triliun yang terdiri dari SBN Rp414,5 triliun dan IPO, ?right issue?, RDPT, DIRE, sukuk/obligasi korporasi sebesar Rp259,44 triliun.
Bagi Wimboh, untuk mendorong pembangunan nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pembangunan infrastruktur harus diutamakan karena akan membangkitkan ekonomi di sekitar sarana infrastruktur itu dibangun.
Usulan OJK
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen mengajukan sejumlah usulan agar pasar modal bisa lebih berperan dalam menjadi sumber pembiayaan.
Ia mengusulkan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk merelaksasi pajak beberapa instrumen investasi di pasar modal dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur sehingga diminati investor baik asing maupun domestik.
Produk pasar modal yang diusulkan relaksasi perpajakannya yakni obligasi korporasi, reksa dana penyertaan terbatas (RDPT), Dana investasi real estate (DIRE), efek beragun aset (EBA), dan dana investasi infrastruktur (Dinfra).
Untuk obligasi korporasi, diusulkan adanya penurunan pajak agar disamakan dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi 15 persen dari sebelumnya 20 persen.
Selain itu, untuk RDPT yang berinvestasi pada Efek Bersifat Ekuitas melalui ?special purpose company? (SPC). Diusulkan dividen dari SPC kepada RDPT tidak dikenakan pajak, karena SPC dianggap satu kesatuan dengan RDPT.
Sementara untuk DIRE, OJK mengusulkan penurunan tarif bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sedangkan EBA, diusulkan agar perlakuan pajak berlaku sama untuk semua produk sejenis.
Mengenai Dinfra, Hoesen mengatakan perlu adanya insentif perpajakan disamakan dengan Kontrak Investasi Kolektif (KIK) DIRE. Dalam hal ini, Dinfra berinvestasi pada surat utang, sehingga diperlakukan perpajakan sama dengan reksa dana.
Syariah
OJK juga berkomitmen untuk terus berupaya mengembangkan pasar modal syariah sehingga turut meningkatkan kemampuan pembiayaan nasional.
"Yang pasti, keberpihakan kita terhadap syariah tinggi. Apalagi pemerintah telah membentuk Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dipimpin langsung oleh Presiden RI dan Wakil Presiden RI," kata Hoesen.
OJK memiliki beberapa inisiatif dalam rangka mendukung perkembangan pasar modal syariah yakni dengan mulai melakukan pendidikan hingga sertifikasi profesi syariah.
Saat ini, produk pasar modal berbasis syariah yang telah berkembang diantaranya saham, obligasi, efek beragun aset (EBA) dan reksa dana.
Dalam ?road map? pasar modal syariah 2015-2019 yang diterbitkan OJK disebutkan, beberapa hal yang merupakan strategi utama pengembangan pasar modal syariah adalah penguatan pengaturan, peningkatan ?supply and demand?, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi informasi, promosi dan edukasi, serta sinergi kebijakan dengan pihak terkait.
Bursa Efek Syariah
Dalam memobilisasi dana di pasar modal, khususnya untuk pembiayaan infrastruktur, misalnya, meski pertumbuhannya selama ini cukup baik, masih terkendala dengan basis pasar nasional yang relatif kecil.
Karena itu, dibutuhkan terobosan agar produk pasar modal syariah Indonesia yang jumlahnya banyak itu dapat masuk dan ditransaksikan di pasar global.
Salah satu usulan yang mengemuka dalam memasuki pasar global itu adalah Indonesia kini memerlukan bursa efek syariah sepenuhnya di mana produk yang dijual memenuhi ketentuan Dewan Syariah Nasional (DSN), termasuk proses atau mekanisme transaksinya.
Ketika memimpin Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan kunjungan ke Dubai Financial Market (DFM), Uni Emirat Arab, pada akhir Oktober lalu, Direktur Utama BEI Tito Sulistio mengatakan Indonesia memiliki pasar modal syariah yang sangat besar.
Karena itu, menurut Tito, pembentukan bursa efek syariah menjadi salah satu rencana strategis dalam mengembangkan dan memperkuat pasar syariah di dalam negeri.
Tito menyambut positif gagasan pembentukan bursa syariah yang datang dari Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani itu.
Ia menilai Indonesia perlu memiliki lembaga khusus yang menanganipasar syariah sehingga fokus dan tidak tercampur dengan produk konvensional.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia seharusnya memiliki perekonomian syariah, termasuk pasar modalnya, yang berkembang pesat.
Dengan populasi penduduk Indonesia mencapai 261,115 juta jiwa, di mana
87 persennya atau 227,12 juta jiwa beragama Islam dan 65 persen di antaranya masih dalam usia produktif.
Sedangkan populasi negara-negara utama penerbit sukuk terbesar dunia tidak sebesar Indonesia. Misalnya, Turki yang hanya memiliki populasi 79,512 juta jiwa, Inggris 65,637 juta jiwa, Arab Saudi 32,27 juta jiwa, Malaysia 31,19 juta jiwa dan UEA yang hanya 9,27 juta jiwa.
Pasar modal syariah Indonesia masih akan terus berkembang. Potensi tersebut ditunjukkan dengan pergerakan Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) yang mengalami kenaikan mencapai 28,1 persen pada periode Juni 2016 hingga Juni 2017.
Sedangkan beberapa indeks syariah utama terbesar dunia pertumbuhannya masih di bawah ISSI, seperti indeks Dow Jones Islamic Market yang hanya mencatatkan kenaikan 16,4 persen, FTSE Global Shariah 15,8 persen dan MSCI World Islamic yang hanya tumbuh 13,1 persen.
Dalam jangka waktu lima tahun, nilai kapitalisasi pasar saham syariah juga meningkat 42 persen. Pada 2012, kapitalisasi pasar saham syariah
baru mencapai Rp2.451 triliun, tapi pada akhir September 2017, sudah menjadi Rp3.473 triliun.
Transaksi saham di BEI juga didominasi oleh saham syariah. Per September 2017, dari 556 saham yang ditransaksikan di BEI, sebanyak 343 saham di antaranya merupakan saham-saham berbasis syariah.
Selain itu, perkembangan jumlah investor saham syariah, yakni investor yang membuka rekening efek syariah, juga meningkat signifikan.
Per September 2017, jumlah investor saham syariah tercatat 19.265 orang atau naik 57 persen dibandingkan 2016 yang berjumlah 12.283 orang. Dengan demikian, jumlah pangsa pasar investor syariah juga tumbuh 3,2 persen pada September 2017 dibandingkan 2016 yang sebesar 2,3 persen.
Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017