Jakarta (ANTARA News) - Hasil survei yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa radikalisme di kalangan masyarakat masuk kategori sedang, tetapi perlu diwaspadai.....potensi radikalisme ini masuk kategori sedang"
Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius pada Seminar Hasil Survei Nasional Daya Tangkal Masyarakat terhadap Radikalisme di Jakarta, Senin, menjabarkan radikalisme yang terjadi di masyarakat adalah 60,67 persen pada tataran pemahaman, sedangkan sikap radikal tercatat di angka 55,70 persen.
"Secara umum meskipun ini perlu diwaspadai, potensi radikalisme ini masuk kategori sedang," kata mantan Kabareskrim Polri itu.
Survei ini dilaksanakan oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) dengan menggandeng The Nusa Institute, Daulat Bangsa, dan Puslitbang Kementerian Agama RI.
Survei ini merangkum pendapat dari 9.605 responden berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah yang tersebar di 32 provinsi se-Indonesia. Survei ini menggunakan metode "multi stage clustered random sampling" dengan tingkat kesalahan 0,7 persen dan tingkat kepercayaan 91,5 persen.
Yang menggembirakan, menurut Suhardi, hasil survei ini juga mencatat adanya daya tangkal masyarakat yang baik terhadap radikalisme. Dari tujuh variabel yang dijadikan acuan, yaitu kearifan lokal, tingkat kesejahteraan, keamanan, pertahanan, keadilan, kebebasan, dan kepercayaan hukum, empat di antaranya menghasilkan catatan signifikan dan baik.
"Kearifan lokal, kesejahteraan, kebebasan dan kepercayaan hukum jadi peredam radikalisme di masyarakat," kata mantan Sekretaris Utama Lemhannas itu.
Suhardi mengatakan untuk terus menekan angka radikalisme di masyarakat, pihaknya akan mengoptimalkan keterlibatan masyarakat dalam pencegahan radikalisme dan terorisme. Keberadaan FKPT sebagai mitra strategis BNPT akan terus diberdayakan.
Deputi I BNPT bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir mengatakan survei ini dilaksanakan untuk mengetahui kondisi riil radikalisme di lingkungan masyarakat dan kemampuan apa saja yang sudah dimiliki untuk menangkalnya.
"Dari sini akan kami kaji kebijakan seperti apa yang tepat dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme," tandasnya.
Sementara itu salah satu anggota Kelompok Ahli BNPT bidang Agama Prof Dr Nazaruddin Umar mengaku cukup kaget dengan temuan hasil survei tersebut yang menunjukkan lima daerah yang memiliki potensi radikalisme cukup tinggi, yakni Bengkulu 58,58 persen, Gorontalo 58, 48 persen, Sulawesi Selatan 58,42 persen, Lampung 58,38 persen, dan Kalimantan Utara 58,30 persen.
Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal itu, angka di atas 50 persen bisa dibilang sebagai peringatan bagi bangsa Indonesia, dan hal itu hendaknya tidak dianggap sebagai persoalan sepele.
Ia mencontohkan peristiwa bom bunuh diri di Masjid Al-Rawda, Sinai, Mesir yang menimbulkan korban meninggal lebih dari 300 orang pada Jumat (24/11)., padahal selama ini orang melihat seperti tidak ada gejolak di Mesir.
"Tentunya kita tidak mau kecolongan. Apa yang dilakukan BNPT tentunya sesuai dengan data. Bengkulu, Gorontalo tidak populer dalam masalah radikalisme, orang tentunya tidak percaya, tapi data membuktikan lima besar daerah itu perlu dicermati," ucapnya.
Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017