• Beranda
  • Berita
  • Indonesia belajar dari China soal teknologi reaktor pendingin gas temperatur tinggi

Indonesia belajar dari China soal teknologi reaktor pendingin gas temperatur tinggi

28 November 2017 21:22 WIB
Indonesia belajar dari China soal teknologi reaktor pendingin gas temperatur tinggi
Menristek Dikti Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Natsir (arsip/ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Solo (ANTARA News) - Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan Indonesia akan belajar dulu teknologi Reaktor Pendingin Gas Temperatur Tinggi (High Temperature Gas Cooled Reactor/HTGR) dari China sebelum membuatnya sendiri.

"Untuk nuklir, kita musti belajar dulu. Teknologi HTGR itu sebenarnya dari Jerman, China dan Jepang mempelajari dan ternyata China sekarang lebih maju, kita belajar sekarang dari mereka," kata Nasir usai menandatangani tiga MoU dengan Menteri Riset dan Teknologi China Wan Gang dalam Pertemuan Pejabat Tinggi ke-3 Hubungan Antarmasyarakat Indonesia-China di Solo, Selasa.

Kesepakatan yang, menurut dia, ingin dibuat adalah kerja sama riset khusus HTGR tersebut, di mana harapannya akan ada pembangunan laboratorium di Indonesia.

"HTGR ini tidak hanya bisa untuk jadi pembangkit listrik saja tapi sumber panasnya itu juga bisa untuk keperluan macam-macam," lanjutnya.

Sebelumnya, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto kepada Antara mengatakan kerja sama penelitian Reaktor Pendingin Gas Temperatur Tinggi untuk tujuan keamanan dan energi antara Indonesia dan China ini akan memperkuat program pengembangan Reaktor Daya Eksperimen (RDE) yang sedang dikerjakan di Puspiptek, Serpong.

"Kebetulan China sudah miliki teknologi ini dan sedang membangun yang lebih besar," kata Djarot.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kedua negara memang menginginkan adanya "joint laboratory" di mana kedua belah pihak bisa saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam program HTGR tersebut.

Pendanaan
Saat ditanya apakah akan ada pendanaan pembangunan RDE, ia mengatakan belum ada pembicaraan ke arah sana. Belum ada pembicaraan soal harga ataupun kontrak, karena Indonesia sebenarnya tetap terbuka dengan negara lain.

Selain itu, Batan ingin membangun sendiri apa yang memang sudah dikuasai, dan sisi yang baru belum dikuasai akan dipelajari dari negara yang lebih maju.

"Tapi kemungkinan mereka ingin lebih ke arah ekspor teknologi".

Teknologi HTGR sendiri, menurut Djarot, memiliki masa depan bagus terutama untuk industri smelter, pencairan batubara dan lain sebagainya. Jadi teknologi ini tidak hanya dipergunakan untuk pembangkit listrik saja.

"Iya karena panasnya bisa juga untuk desalinasi air laut, jadi multiguna. Itu yang mau dibangun Batan kalau RDE sebagai `pilot project` di Serpong dengan daya 10 Mega Watt sudah terbangun, karena kelak bisa dibangun di daerah lain dengan daya besar skala komersial," lanjutnya.

Tiga MoU
Menristekdikti dan Menteri Riset dan Teknologi China Wan Gang menandatangani Rencana Aksi Tiga Tahun di Bidang Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi (Iptekin) untuk periode 2018 sampai dengan 2020, pengaturan pelaksanaan pembangunan pelabuhan serta pencegahan dan mitigasi bencana, dan pengaturan implementasi kerja sama kawasan sains dan teknologi.

Nasir mengatakan pertemuan kali ini mengatur kembali aksi hingga ke tahap pelaksanaan perjanjian kerja sama tersebut. Pada pertemuan sebelumnya pada 2016 di Guiyang, China, sudah ada Nota Kesepahaman tentang Program Beasiswa dan ?mutual recognition in academic higher education qualification? dan sudah ada 700 mahasiswa Indonesia yang melanjutkan pendidikan di China.

Penandatanganan yang dilakukan dalam Pertemuan Pejabat Tinggi Ketiga Hubungan Antarmasyarakat Indonesia-China di Solo, disaksikan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani dan Wakil Perdana Menteri China Liu Yandong dan sejumlah pejabat tinggi kedua negara.

Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017