• Beranda
  • Berita
  • Artikel - Etnis minoritas penggerak pariwisata China

Artikel - Etnis minoritas penggerak pariwisata China

7 Desember 2017 16:45 WIB
Artikel - Etnis minoritas penggerak pariwisata China
"Tangisan Pernikahan" (crying marriage) adalah salah satu tradisi etnis Tujia yang dipentaskan dalam pertunjukan Charming Xiangxi di Kota Zhangjiajie, Provinsi Hunan, China.


Etnis Tujia di China memiliki tradisi unik yakni menangis sebelum hari perkawinan.

Para gadis dari etnis yang sebagian tinggal di kawasan pegunungan Zhangjiajie, Provinsi Hunan ini akan menangis selama sebulan sebelum perkawinan karena akan meninggalkan rumah.

Tangis juga dimaknai sebagai ungkapan terima kasih kepada orang tua yang melahirkan dan membesarkan mereka serta rasa syukur atas masa-masa indah yang dilalui bersama saudara-saudari mereka.

"Hingga kini kami masih melakukan tradisi itu, meskipun tidak selama sebulan penuh," ujar Tan Qi, pemandu Antara saat berkunjung ke Zhangjiajie, pertengahan November lalu.

Tradisi yang dimulai sejak Warring States Period (475-221 SM) ini menjadi salah satu potensi yang dikembangkan menjadi daya tarik wisata melalui pertunjukan "Charming Xiangxi".

Didirikan pada 1999, pusat seni pertunjukan yang merangkum berbagai kesenian tradisional seperti tari, lagu, dan cerita rakyat telah menarik 1.200 juta wisatawan lokal maupun internasional dengan pendapatan lebih dari 259 juta yuan (Rp530 miliar).

Tradisi "Tangisan Pernikahan" sendiri ditarikan oleh sekelompok penari perempuan yang mengenakan baju tradisional etnis Tujia berwarna merah, yang salah satunya adalah calon mempelai perempuan yang akan dipersunting kekasihnya.

Selain tradisi ini, pemerintah Zhangjiajie juga mempopulerkan cerita rakyat "Peri Rubah" yang dipentaskan di panggung luar ruangan dengan latar lembah Tianmen yang dikelilingi batu-batu karst menjulang megah.

Cerita rakyat "Peri Rubah" yang jatuh cinta dengan seorang tukang kayu dari Gunung Tianmen dipentaskan oleh ratusan penari dan penyanyi di panggung luar ruangan terbesar di Kota Zhangjiajie, Provinsi Hunan, China. (ANTARA News/Yashinta Difa)

Teater yang diklaim sebagai karya pertunjukan dengan lanskap terbaik di China ini berkisah tentang cinta ala Romeo dan Juliet antara peri rubah putih dan seorang tukang kayu di Gunung Tianmen.

Dari sisi gerakan mungkin tidak ada yang spesial dilakukan oleh ratusan penari dalam pementasan ini, tetapi paduan suara yang menyanyikan narasi cerita mampu menyedot perhatian penonton dengan suara merdu dan lagu-lagu bernada sendu.

Yang tidak kalah menarik adalah properti pertunjukan yang disusun sangat cermat, memadukan elemen alam seperti air, pepohonan, dan lembah dengan teknologi pencahayaan dan komputerisasi untuk memberikan efek tiga dimensi.

Tidak heran jika untuk menikmati pertunjukan berdurasi 1,5 jam ini penonton dikenai biaya paling sedikit 288 yuan (Rp590 ribu) karena bukan hanya mata dan telinga yang dimanjakan dengan penampilan apik, perasaan penonton pun bisa ikut hanyut mengikuti jalan cerita yang ditulis terjemahannya dalam bahasa Inggris di dua monitor besar yang dipasang di kanan dan kiri panggung.

Dihuni oleh 1,7 juta jiwa dengan 77,2 persen berasal dari etnis minoritas mencakup kelompok Tujia, Bai, dan Miao, Zhangjiajie berkembang menjadi wilayah yang hidup dari pariwisata didukung dengan kekayaan budaya dan keindahan alamnya.

Upaya mengkapitalisasi aspek tradisi dan budaya etnis minoritas China juga dilakukan dengan mengembangkan kawasan ekowisata, salah satunya di lembah Hetian, Zhangjiajie, yang dihuni warga Tujia.

Di lokasi ini, wisatawan bisa melihat dan merasakan cara hidup warga lokal yang berbasis pertanian. Meski letaknya cukup jauh sekitar empat jam perjalanan darat dari Changsha, Ibu Kota Provinsi Hunan, banyak wisatawan mengunjungi lembah Hetian terutama saat musim panas.

Ada banyak aktivitas luar ruangan yang bisa dilakukan di lokasi ini seperti bercocok tanam, berkuda, memanah, mengolah tahu dan minyak dari limbah sayuran. Selain itu, wisatawan juga bisa mencicipi hidangan lezat di restoran gua karst.


Daging bebek

Menu makanan khas warga lokal seperti potongan daging bebek dan daging sapi atau babi yang diolah dengan bumbu pedas berkuah, serta "stinky tofu" yakni tahu berwarna hitam hasil fermentasi dan teh jelai, menjadi favorit para wisatawan yang bersantap di bawah stalaktit gua.

Sentuhan tradisi warga Tujia pun bisa ditemukan di restoran-restoran lain di pusat Kota Zhangjiajie. Salah satu restoran tmenjamu tamunya dengan arak beras.

Warga etnis Tujia yang sebagian tinggal di Zhangjiajie, Provinsi Hunan, China, biasa menjamu tamu dengan arak beras yang disajikan dalam mangkuk gerabah kecil. (ANTARA News/Yashinta Difa)

Namun ada yang berbeda dalam penyajian arak beras tersebut. Para pelayan, laki-laki dan perempuan yang mengenakan atasan dan bawahan dengan dominasi warna merah dan aksesoris kepala dari perak, akan "menyuapi" para tamu dengan arak yang dituangkan dari mangkuk teko gerabah.

Sambil menuangkan arak dari teko ke mangkuk kecil yang diteguk perlahan oleh setiap tamu, para pelayan tersebut menyanyikan lagu tradisional bernada riang---yang semakin menghidupkan suasana dan keakraban saat sesi makan bersama.


Pengentasan kemiskinan

Pemberdayaan etnis minoritas untuk menampilkan tradisi dan kehidupan sehari-hari dalam kemasan wisata ditujukan untuk program pengentasan kemiskinan.

Cili County misalnya, yang menjadi "rumah" salah atraksi wisata paling populer di Zhangjiajie yakni Glass Bridge Grand Canyon dimana wisatawan bisa melihat formasi pilar-pilar batuan karst dari jembatan kaca setinggi 326 meter, telah berhasil menjalankan program pengentasan kemiskinan.

Glass Bridge Grand Canyon adalah infrastruktur pendukung yang dibangun pemerintah China untuk menghidupkan pariwisata di wilayah Zhangjiajie, Provinsi Hunan, yang terkenal dengan keindahan lanskap ribuan pilar batuan karst yang terbentuk alami melalui proses evolusi geografi. (ANTARA News/Yashinta Difa)

Sejak Januari-September 2017, wilayah yang terletak di sebelah barat pegunungan Wulingyuan ini dikunjungi 6,42 juta wisatawan dengan pendapatan mencapai 3,16 miliar yuan (Rp6,47 triliun).

Peningkatan jumlah wisatawan hingga 44 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya ini tidak lepas dari perhatian pemerintah China yang mengalokasikan sejumlah besar dana untuk membangun infrastruktur pendukung pariwisata di kawasan tersebut.

Setelah mengalokasikan 8,6 miliar yuan untuk membangun jembatan kaca (glass bridge) sepanjang 430 meter yang membentang dengan ketinggian 300 meter di atas permukaan lembah dan membangun beberapa hotel, kini pemerintah menambah 2,52 miliar yuan untuk mengembangkan objek wisata air panas dan sarana kegiatan luar ruangan.

Pembangunan 21 hotel dan tujuh restoran di sekitar Zhangjiajie Glass Bridge menyerap 1.216 tenaga kerja lokal, sementara toko-toko suvenir dan makanan mendatangkan pendapatan hingga dua juta yuan.

"Tidak hanya lewat pariwisata, pemerintah juga membantu para petani di sini untuk mengembangkan usaha salah satunya dengan menggandeng pihak swasta membangun pabrik pengolahan teh," ujar Wakil Kepala Cili County Zhu Xin.

Restoran gua di lembah Hetian, Zhangjiajie, China, menawarkan pengalaman makan yang berbeda di bawah stalaktit karst. (ANTARA News/Yashinta Difa)

Dengan bantuan dana 8,29 juta yuan untuk mengembangkan tujuh industri teh di Cili, pemerintah memberdayakan petani dalam manajemen usaha yang telah membuka 5.170 lapangan kerja bagi warga lokal---sehingga anak muda di daerah tersebut tidak perlu lagi pindah ke kota untuk mendapat upah layak.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah China tersebut mampu mengurangi jumlah warga Cili yang hidup di bawah garis kemiskinan dari 13 persen menjadi 7,68 persen.

"Dari 2014 hingga 2016, sebanyak 13.180 keluarga sudah keluar dari kemiskinan," tutur Zhu Xin.

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2017