Jakarta (ANTARA News) - Keong sawah atau tutut, yang biasa dimasak sebagai makanan, ternyata tidak lagi disambil di sawah.
"Kalau yang di sawah, khawatir tercemar pestisida dan berisiko jika dimakan. Tutut yang diambil adalah yang dari danau," kata Zaenuddin (28), pengepul tutut di daerah Depok, Jawa Barat, kepada Antaranews belum lama ini.
Dia mengatakan tutut yang diambil adalah yang berada di Setu (danau) Pengasinan Sawangan Depok.
"Tutut itu kecil, tidak bisa jadi sebesar bola golf. Kalau yang bisa membesar seperti bola golf, itu mungkin keong yang ada racunnya, tak bisa dimakan," kata Jay, panggilan Zainuddin.
Tutut yang diambil, biasanya berada di dasar lumpur atau menempel pada kayu di pinggir danau, katanya.
Sementara itu, Inni (27), istri Jay, di tempat yang sama memberi tahu agar tutut enak dimakan dan tidak pahit.
"Dicuci dan direbus dan cuci rebus lagi. Terus digegep buntut tututnya," kata Inni.
Setelah itu, tutut siap diolah menjadi gulai atau dimasak bumbu pedas. "Lebih enak kalau dibumbu pedas," katanya.
Suami-istri itu bisa mengirim total 100 kilogram tutut / hari untuk para pelanggan termasuk yang berada di luar Depok.
Mereka sudah dua tahun menjadi pengepul tutut.
"Biasanya ada anak-anak sekolah yang pulang dari belajar mereka nyari tutut di Setu Pengasinan, lalu dijual ke kami. Harganya rp2.000 / kilogram, ada yang pernah bawa 10 kilogram," kata Inni. "Kalau dimasak hingga dibumbuin, sekilo bisa dijual rp20 ribu."
Dia mengatakan, tutut bisa didapatkan setiap saat tanpa tergantung musim dan selama dia berjualan belum pernah harganya berubah.
"Tapi menurut saya tutut tidak bisa jadi pengganti daging sapi, kan rasanya saja beda," kata Inni.
(mgg. Fadhil Hussen / Egy Mahstya)
Pewarta: -
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017