Menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati, di Jakarta, Rabu, nama ilmiah jenis burung baru Myzomela irianawidodoae, telah Presiden Joko Widodo --melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Menteri Sekretaris Negara-- izinkan menggunakan nama Ibu Negara berdasarkan Surat Nomor B1199/M.Sesneg/D-2/HL.01.00/12/2017 tertanggal 17 Desember 2017.
Pemberian nama ilmiah jenis burung endemik dengan nama Ibu Negara ini merupakan yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Hal ini dimaksudkan sebagai ungkapan atau bentuk penghargaan kepada Ibu Negara yang sangat memperhatikan kehidupan burung, dedikasinya bisa dijadikan teladan dan menjadi contoh dalam menyelamatkan lingkungan di Indonesia.
Menurut dia, sangat lama proses penemuan jenis baru ini, dimulai dari pernyataan Forbes pada 1879 bahwa masih banyak jenis Myzomela spp. di wilayah Wallacea yang belum ditemukan.
Pada tahun 1996, Johnstone dan Jepson melaporkan dugaan jenis baru Myzomela dari Pulau Rote pada daftar jenis burung. Kemudian pada 2009, seorang aktivis lingkungan Philip Verbelen melaporkan pengamatannya di Pulau Rote pada jenis burung yang sama, serta berhasil mengambil foto dan rekaman suaranya.
Sampai akhirnya pada 2017, tim peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI (Dr. Dewi M. Prawiradilaga. dkk) dan tim peneliti Nasional University of Singapore, Singapura (Ass. Prof. Frank Rheindt.dkk) mempublikasikan jenis baru Myzomela dari Pulau Rote tersebut dalam jurnal ilmiah Treubia Volume 44, edisi Desember 2017, halaman 77-100.
Spesies Myzomela irianawidodoae
Jenis burung endemik Myzomela irianawidodoae ditemukan di Pulau Rote, NTT, pulau terbesar di Kepulauan Rote yang ada di sana dan berada di wilayah paling selatan Indonesia (terluar).
Burung ini termasuk di dalam famili Meliphagidae sebagai burung yang dilindungi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP Nomor 7 Tahun 1999.
Burung Myzomela irianawidodoae berukuran kecil dengan panjang tubuh 11,8 cm dan bobotnya 32,23 gram dan panjang paruh 1,79 cm, bentangan sayap 17,2 cm dan panjang sayap 5,8 cm, panjang ekor 3,7 cm dan tinggi kaki 1,67 cm. Paruh berwarna hitam, warna mata cokelat gelap, warna kaki dan jari hitam dengan bantalan kuku warna kuning.
Bulu-bulu di bagian kepala hingga dada atas dan tengkuk berwarna merah darah, warna kekang hitam dan garis hitam tipis di sekeliling mata, pita hitam pada pertengahan dada dan secara bertahap menjadi warna abu-abu dengan sapuan warna zaitun pada dada bawah, perut, paha dan sekitar tungging. Punggung dan ekor burung berwarna hitam, serta pertengahan punggung sampai tunggir berwarna merah dan sayap berwarna hitam bercampur abu-abu gelap.
Burung ini merupakan pemakan nektar, yaitu cairan manis yang terdapat pada bunga. Mereka juga menyukai beberapa jenis serangga kecil, termasuk laba-laba. Burung ini menghuni habitat di hutan, semak-semak, kebun dan pohon yang berbunga, terkadang bisa dijumpai memakan nektar pada bunga pohon jati di sekitar perkampungan. Suara kicauannya merdu saat sedang terbang.
Sebagai pemakan nectar, burung M. irianawidodoae berpotensi menjadi penyerbuk. Namun peran ini perlu dibuktikan dengan penelitian dan pengamatan yang lebih mendalam.
"Oleh karena itu kami mengajak semua pihak untuk menjaga dan membiarkan burung ini hidup di alam. Kelestarian burung ini dan semua jenis burung di wilayah NKRI menjadi warisan yang bernilai tidak terhingga bagi generasi penerus bangsa," kata Enny.
Pewarta: Virna Puspa S
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018