Ada anak yang ingin tampil beda dengan rambut disemir dan bermodel punk, yang laki-laki ingin anting dan perilaku tomboy. Ada juga yang hobi bolos dan lebih sering nongrong di luar sekolah serta sudah pernah kecanduan obat terlarang sehingga motivasi belajar jauh berkurang.
Anak-anak model seperti dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus sehingga perlu penanganan yang berbeda dengan model pengajaran yang lebih fleksibel.
Dalam setiap sekolah biasanya muncul siswa model seperti itu yang akhirnya dikeluarkan karena tidak mampu mengikuti aturan formal di sekolah.
Mereka perlu ditampung dalam sekolah yang mentoleransi perilaku mereka sekaligus membimbing agar mampu menyelesaikan pendidikannya dan memotivasi untuk melanjutkan pendidikan mereka.
Saat ini hampir di setiap kabupaten dan kota di Propinsi Jawa Barat diadakan SD negeri sebagai SD inklusif. Sekolah model ini yang mempunyai kewajiban menangani dan menerima anak ABK (anak berkebutuhan khusus) yang memiliki kelainan masih ringan, karena kalau anak ABK yang memiliki kelainan berat harus ditangani oleh Sekolah khusus yaitu SLB (sekolah luar biasa).
Namun jumlah sekolah infklusif setara sekolah menengah pertama, masih belum banyak. Salah satunya ada di Kota Cirebon yaitu SMP Harapan Kita atau dikenal sebagai "Harkit" yang bernaung di bawah Yayasan Harapan Kita.
Pendidikan inklusif ini diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi semua terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus yang selama ini masih belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya anak-anak lain.
Menurut Ketua Yayasan Harapan Kita Farid Affandi, pendidikan inklusif memiliki beberapa karakteristik yaitu terjadi proses menemukan cara merespon keragaman individu anak, mempedulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar, mengarahkan anak untuk mendapat hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya.
Sekolah yang beralamat di Lemahwungkuk no.139, Kota Cirebon itu mempunyai tiga kelas dengan siswa antara 10 sampai 25 siswa per kelas. Saat ini ada 12 siswa di kelas 7, ada 20 siswa di kelas 8 dan 21 siswa di kelas 9.
Sementara tahun ajaran 2016 untuk kelas 7, 8, dan 9 masing-masing 5, 12, dan 24 siswa. Data itu menunjukkan sebagian siswa sekolah adalah pindahan dari sekolah lain.
Sekolah ini mulai tahun 2012 tidak mendapat siswa baru dari sistem penerimaan siswa baru tingkat SMP karena SMP negeri menerima murid melebihi kuota.
Langsung Daftar
Sebagian kecil orang tua yang paham anaknya mempunyai kebutuhan khusus langsung mendaftarkan anaknya ke sekolah inklusif seperti ini. Ada juga dari keinginan anaknya sendiri yang mengukur dirinya tak mampu masuk sekolah umum.
Namun kebanyakan orang tua baru kondisi anaknya mengetahui setelah anaknya berulang kali mendapat teguran dari guru dan akhirnya dikeluarkan sekolah.
Jika orang tua tidak peduli pada anak, akhirnya memilih membiarkan anaknya tanpa pendidikan formal yang justru berpotensi terseret pergaulan jalanan. Sebagian yang masih peduli akhirnya memilih SMP Harkit.
Pada sebulan terakhir masuk tiga siswa pindahan dari SMP lain yaitu Egi dari SMPN 15 dan Heri dari SMPN 13, kedua masuk di kelas 8 dan Dwi dari SMPN 14 yang masuk di kelas 9.
Ketiga anak itu mengaku merasa nyaman dengan suasana belajar di SMP Harkit. "Guru di sini asyik-asyik," kata Dwi, siswi yang menampilannya tomboy dan bercita-cita menjadi satpam.
Rusmini, orang tua siswa bernama Riko mengaku cukup puas dengan bimbingan guru di sekolah karena anaknya jarang sekali bolos.
Sekolah Harapan Kita mempunyai prinsip tidak menolak siswa dengan kondisi apapun.
Sekolah ini terkadang menjadi tumpuan keluarga miskin untuk menyekolahkan anaknya karena tidak banyak tuntutan pembelian baju dan buku yang berlebihan.
Rata-rata siswa mengaku hanya punya satu set baju seragam sehingga sekolahpun maklum jika ada siswa yang tak berseragam karena sedang dicuci.
Ada anak yang bingung karena orang tuanya bercerai dan tidak mendapat biaya untuk meneruskan ke SMP, akhirnya diterima dan dibantu proses pengambilan ijazah dan persyaratan lainnya.
Bahkan siswa yang oleh sekolah lain dianggap "sampah" diterima dengan baik dan akhirnya bisa menyelesaikan pendidikan dan melanjutkan ke sekolah menengah atas.
Farid pernah mendapat pertanyaan dari guru sekolah lain yang sebenarnya tidak layak dilontarkan oleh seorang tenaga pendidikan.
"Jadi bapak mau menerima siswa model begini,?" kata Farid menceritakan keheranan seorang guru terhadap siswa yang mempunyai penampilan gaya punk diterima di SMP Harkit.
Farid dan guru-guru SMP Harkit justru meyakini siswa model seperti ini merupakan anak cerdas yang bisa dimotivasi untuk terus belajar.
Terbukti sepanjang sekolah itu berdiri sejak tahun 1983 belum pernah ada yang tidak lulus ujian.
Bahkan tahun lalu, menuai pujian karena semua sekolah negeri mengalami penurunan angka rata-rata ujian nasional, namun sekolah ini justru angka rata-ratanya naik dari 56 ke 59.
"Nilai ini murni usaha anak-anak, kami sama sekali tidak membantu mereka," kata Ika Budiardi, kepala sekolah SMP Harkit.
Tapi diakui ada juga satu dua siswa yang tidak mau ikut ujian, walaupun sang guru berupaya membujuk agar ikut ujian.
Pemantauan
Ajeng Sukawati dan Dela Elsiana, dua guru sekolah itu mengaku melakukan pemantauan setiap hari. Jika ada siswa yang tidak masuk tanpa keterangan yang jelas maka langsung dikomunikasikan ke orang tuanya, bahkan sering mendatangi siswa ke rumah untuk memberikan motivasi belajar.
Menurut Dela, pernah ada siswa yang sedang bertengkar dengan orang tuanya saat dijemput untuk kembali sekolah. Anak itu kemudian diberi bimbingan khusus dan kembali rajin masuk sekolah.
Ada juga orang tua yang aktif memantau perkembangan anaknya karena takut kembali suka membolos, tetapi akhirnya yakin sekolah mampu menangani setiap anak.
Sekolah model ini, apalagi gratis karena adanya dana BOS menjadi tumpuan bagi orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus. Sayang sekolah ini masih mempunyai prasarana yang minim dan memerlukan dukungan semua pihak.
Tidak banyak yayasan pendidikan yang mau terjun menangani anak-anak seperti ini karena pasti harus membuang jauh-jauh motivasi meraup materi.
Enam guru dan satu kepala sekolah yang mengelola sekolah inipun berstatus honor dengan nilai yang jauh dibanding guru di sekolah favorit. Tapi semangat mendidik patut diacungi jempol.
Selayaknya dana-dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) besar juga disalurkan ke sekolah inklusif seperti ini.
Sesuai namanya, semoga sekolah ini menjadi harapan bagi-bagi anak-anak yang terancam putus sekolah. Harapan juga bagi bangsa yang tidak ingin melihat generasi muda tercerabut dari akses pendidikan.
Pewarta: Budi Santoso
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018