"Kita tidak usah khawatir dengan beroperasionalnya perguruan tinggi asing, karena hal itu merupakan rencana induk Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) sehubungan dengan pendidikan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0," ujar Asep di Jakarta, Selasa.
Langkah tersebut, lanjut dia, juga bagian dari arah menuju masyarakat yang berpengetahuan. Untuk itu, perguruan tinggi asing yang diizinkan haruslah kampus yang berbasis riset yang mengisi daerah-daerah perbatasan yang sumber dayanya belum teroptimalkan.
"Contohnya kampus asing yang kuat terintegrasi dengan peternakan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB)," katanya.
Perguruan tinggi asing, tambah dia, harus berinvestasi untuk inovasi, pengetahuan serta mengajak perguruan tinggi lokal dan nasional.
"Jadi jangan sekadar, mencari mahasiswa sarjana. Semua itu harus dalam koridor masa depan dengan semakin terbukanya dunia dengan industri 4.0," tambah dia.
Disinggung mengenai sikap Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) yang menolak rencana tersebut, Asep meminta agar cara memandangnya jangan terlalu sempit karena masuknya perguruan tinggi asing untuk keperluan nasional.
"Perguruan tinggi asing yang diperbolehkan buka, sebaiknya tipe universitas riset Oxford, Cambridge, Harvard, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT)," saran dia.
Rektor Universitas Al Azhar Jakarta itu menjelaskan bahwa rencana Kemristekdikti dalam menjawab Revolusi 4.0. Menurut dia, memang harus begitu jika masyarakat tidak ingin menjadi penonton perubahan.
Segala bentuk teknologi informasi dengan berbagai variasinya seperti "big data", "cloud computing", "internet of things", "artificial intelligent", dan lain-lainnya, sudah menjadi pengetahuan dasar para sarjana Indonesia.
Selain itu, tentunya kemampuan komunikasi berbagai bahasa, baik lisan maupun tulisan. Hal itu harus disiapkan secara baik di kalangan universitas dengan perubahan pola pembelajaran yang sesuai dengan zaman sekarang," tuturnya
Sehingga para dosen harus mengubah pola pikir dan terbuka dengan input-input baru. Termasuk pola ujiannya pun sudah perlu diubah dari sekedar oreintasi mandiri dan kognitif, ke kolaborasi dan kreatif.
"Teknologi akan banyak gunanya bila mahasiswa terbiasa dengan kerja sama, mencari alternatif solusi, memanfaatkan berbagai sumber daya belajar, bahkan dari kampus-kampus asing. Jadi perguruan tinggi asing bukan ancaman namun untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi kita," papar Asep.
Pewarta: Indriani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018