Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan DPP Generasi Muda Mathlaul Anwar (MA) Destika Cahyana di Jakarta, Selasa, mengatakan dalam tragedi meninggalnya Ahmad Budi Cahyono, guru seni rupa SMA 1 Torjun, Sumenep, menunjukkan ada krisis keteladanan di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat pada orang dewasa yang kemudian diikuti oleh murid.
"Penghinaan terhadap orang yang lebih tua oleh orang yang lebih muda seringkali dipertontonkan di ruang publik baik di dunia nyata maupun dunia maya," kata Destika.
Hal serupa terjadi di semua sektor bahkan pemerintahan, panggung politik, hingga di dunia pendidikan sendiri.
"Secara tidak langsung berbagai fenomena tersebut terekam di alam bawah sadar para siswa," katanya.
Destika melihat, kasus guru Budi dan murid pelaku pemukulan dapat dikatakan bahwa keduanya adalah korban dari dosa sosial seluruh masyarakat yang kerap mempertontonkan penghinaan terhadap institusi pribadi maupun individu yang selayaknya dihormati.
Terlebih ia menilai, jenjang sekolah menengah merupakan jenjang paling rentan dalam hal relasi guru dengan murid, terutama pada guru muda dan murid-murid berusia tua karena selisih usia hanya 4-7 tahun saja.
"Dengan demikian sekolah idealnya memiliki sistem untuk membangun budaya yang membuat siswa secara otomatis menghargai dan menghormati guru," katanya.
Sistem dan budaya ini kata dia, yang harus dibina langsung dalam koordinasi kepala sekolah untuk memastikan berjalan dengan baik.
Ia menyarankan agar sekolah juga memastikan perlakuan sekolah terhadap semua guru setara baik yang berstatus PNS maupun honorer. Bahkan perbedaan status tersebut idealnya tidak ditunjukkan kepada siswa.
"Terakhir kita bersimpati kepada Guru Budi yang telah mengabdikan diri ini pada bangsa Indonesia. Di sisi lain sebetulnya gejala murid sekolah menengah berani melawan guru sudah mulai pada era 80-an hampir di semua daerah. Bahkan murid berkelahi dengan guru sering kita jumpai," katanya.
Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018